Source: pinterest.com Ratu Adil adalah mitos, sebab saat pertama kali istilah itu keluar dari ...

        
                         Source: pinterest.com

Ratu Adil adalah mitos, sebab saat pertama kali istilah itu keluar dari Jayabaya yang diramalkan belum juga datang. Dikatakan saat dunia sedang kisruh pemerintahannya, bencana terjadi dimana-mana, dan ketidakadilan dilumrahkan saat itulah Ratu Adil datang. Klise namun hal itu menjadi optimisme masyarakat Jawa dari masa ke masa. Tokoh yang diharapkan mampu untuk mengantarkan mereka dari jurang penderitaan yang tak berujung. Namun penderitaan nyatanya tetap datang, mulai dari dulu ramalan ini dikeluarkan hingga zaman sekarang.

Pangeran Diponegoro pernah dijuluki Ratu Adil atau Satria Piningit saat perang melawan 
kolonialisme Belanda. Perang selama 5 tahun tersebut dimenangkan Belanda dan Diponegoro ditangkap dan diasingkan. Lalu di era pra-kemerdekaan H.O.S Cokroaminoto didapuk oleh para pengikutnya sebagai Satria Piningit yang lain, lewat organisasinya Syarekat Islam (SI) Cokroaminoto membuat kolonial Belanda ketar-ketir karena berhasil menggaet 3 Juta anggota di tahun 1919. Lewat jalan politik islam, SI berani membuat kongres besar untuk membuat suatu negara sendiri untuk merdeka, Cokroaminoto sang pemimpin dirasa banyak rakyat tokoh yang mampu mewujudkannya. Namun lewat intrik Belanda, Cokroaminoto berhasil dipenjarakan.

Saya jadi ingat drama Perancis yang ditulis Samuel Beckett tahun 1948 berjudul Menunggu Godot. Tokoh Estragon dan Vladimir yang memerankan rakyat biasa berserah dan pasrah terhadap keadaan mereka yang serba kekurangan. Mereka layaknya berada dimasa sekarang, tertindas dikeadaan yang sangat membingungkan. Mereka tidak tahu kenapa bisa begitu menderita, kemiskinan struktural, dan para elit serakah yang mementingkan kelompoknya adalah gambaran lintah penghisap darah.

Namun Estragon dan Vladimir yang duduk dibawah pohon masih setia menunggu Godot, “Kita tidak bisa pergi” ucap Vladimir, “mengapa tidak?” Tanya Estragon, “karena kita menungguGodot” tutup Vladimir. Lalu siapakah Godot yang mereka maksud? Beckett sendiri tidak memberikan jawaban pasti, namun drama teater ini mempunya interpretasi sendiri oleh penonton saat dipentaskan. 

Drama ini sangat berpengaruh pada saat kemunculannya di eropa, para narapidan di Jerman merasa mereka seperti Estragon dan Vladimir yang menunggu Godot datang. Entah apa yang mereka tunggu namun Godot seperti sebuah cahaya yang mampu membawa keadaan menjadi lebih baik. Namun seperti yang kita tahu Estragon dan Vladimir
setia menunggu hingga layar beludru merah menutup panggung drama, dan Godot yang mereka tunggu tidak pernah datang.

Godot layaknya Ratu Adil kita yang lain. Eropa dan Jawa nyatanya mempunya penderitaan yang sama. Lalu optimisime atas penderitaan mereka letakan kepada tokoh fana yang mereka tunggu kedatangannya. Manusia nyatanya begitu absurd, mereka menunggu ketidakpastian yang tak berujung. Harusnya mereka bergerak merubah keadaan, bukan hanya menunggu. 

Ratu Adil kita tidak akan pernah datang, karena itu berkelompok untuk suatu perubahan mungkin bisa dikaji dan dilakukan. Ini bukan ajakan makar, namun coba renungkan berapa waktu yang kalian habiskan untuk menunggu hari yang lebih baik. Jayabaya boleh meramalkan Ratu Adil, Samuel Beckket bisa menciptakan Godot namun apakah mereka datang? Ramalan bisa salah, namun realitas adalah kenyataan yang pahit kita alami sekarang. Lalu dari sekian banyak alasan penderiataan apakah kita masih harus menunggu Godot?

                               Muhammad Ardico 
                               Dari angkringan depan rumah
                               Nganjuk, 17 Februari 2024
                               

“Kota ini, ketika saya ingin menaklukannya, saat itulah saya semakin tenggelam” Sore bulan puasa, saya bertemu kawan lama di sebuah pusa...



“Kota ini, ketika saya ingin menaklukannya, saat itulah saya semakin tenggelam”


Sore bulan puasa, saya bertemu kawan lama di sebuah pusat perbelanjaan di daerah pinggiran Ibu Kota. Kebetulan waktu sudah memasuki berbuka, kami makan di sebuah outlet makanan franchise di sudut bangunan. Saya tahu betul dia bukan tipe orang yang menyukai tempat makan seperti ini. Akan tetapi demi menyambut kawan jauhnya dia singkirkan idealismenya barang sesaat.


“Kamu tahu, saya paling tidak pernah suka makan di tempat seperti ini, tempat makan ini sangat kapital, makanan dijual mahal dan berbanding terbalik dengan rasanya,” gerutunya yang sudah pasti bisa saya tebak. “Bahkan saya memesan makanan inipun hanya melihat dari nama kerennya saja tanpa tahu rupanya seperti apa, tapi demi kawan jauh sekali-kali tidak mengapa lah,” imbuhnya dengan sedikit senyum.


Kami makan bersama, bertukar kabar, mengingat kenakalan-kenakalan masa lalu, dan mengasihani nasib masing-masing. Teman saya ini hidup, bekerja, sekaligus memaki kota ini. “Jakarta” jauh dari bayangan masa kecilnya, imajinasinya ketika bekerja di Ibu Kota seperti gambaran orang berdasi yang sering dia lihat di sinetron televisi. Sambil melonggarkan kancing bajunya, lalu menyalakan sebatang rokok yang ia hisap dalam-dalam. Impian besarnya saat muda dulu yang sering dia ceritakan kini beralih ke hidup kecil yang serealistis mungkin dapat dia jalani. Saya yang mendengarnya mencoba mebangkitkan sisa-sisa api dihatinya, tapi jawabannya sungguh diluar dugaan saya, “Orang tua saya sudah tersenyum melihat saya saat ini, itu membuat saya merasa cukup,”  jawaban menohok ini diucapkan sangat lirih, dan saya mengangguk untuk yang satu ini.


Cerita lelahnya berlanjut ke hari-hari kerjanya yang sangat berat, kepala divisinya yang rakus, dan kesepianya yang lamat-lamat ikut andil memperpendek umur seperti rokok yang kembali ia sulut. Namun pertanyaan saya, bagaimana dia merasa sendiri di kota yang tidak pernah tidur ini. Bagaimanapun dia sekarang adalah bagian dari Jakarta, yang dengan kalut bangun pagi untuk pergi ke macet satu ke macet lain setiap harinya. Kenapa dia tidak membanggakan bagaimana indahnya taman kota, megahnya Gedung-gedung pecakar langit itu, betapa gagahnya monumen nasional, atau pedagang kaki lima yang lebih banyak dari jumlah pohon yang ada.


Jakarta membuatnya kehilangan gairah hidup yang dapat dia jalani, atau mungkin hampir sebagian penghuninya. Bagaimana ironi kesenjangan kehidupan entah itu di Kampung Melayu, Mester, Menteng, atau Bintaro. Namun potret seperti sudah lumrah ada di kota ini, ketimpangan adalah bahasa baku dan huruf tebal jika sedikit saja meluangkan waktu berputar-putar. Kota ini gemerlap, bising, dan sesak. Tapi kesepian adalah pernyataan membingungkan yang keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa?


“Disini tidak ada kawan, bukan berarti saya asosial, saya sudah membuka diri untuk semua orang yang akan berkawan, namun di Jakarta kamu tidak pernah tahu kawan mana yang akan membunuhmu di kemudian hari” Kecamnya sambal mendengus kesal, baginya berusaha peduli dengan seseorang disini sama saja harus ikut masuk kedalam kompleksnya permasalahan orang tersebut, “Pernah saya coba peduli dengan seseorang kawan yang ketergantungan obat-obatan, akan tetapi sulit menyadarkannya, ternyata selain obat, hutang juga jadi masalahnya, saya jadi bingung harus bagaimana untuk membuka diri,” tambahnya kali ini suaranya lirih. Saya yang mendengarnya ikut terhanyut. Metropolitan tidak hanya bisa merubah nasib, namun juga merubah jiwa penduduk di dalamnya.


Kesepian membuat dia selalu memikirkan kampung halaman di Pulau Madura dimana kawan-kawan dan keluarganya berada. Tempat pulang yang sekarang sangat jauh dari pandangan, dan hanya dengan ingatan kenangan rumah, kawan, dan keramahan masyarakat Madura itu muncul dan menari di pikirannya. “Di Madura tidak ada kemacetan, polusi, ataupun ketakutan-ketakutan lain tentang kehidupan” Saya tak bisa memberikan jawaban apa-apa atas ceritanya, saya biarkan dia bercerita tentang apapun yang  dirasakan selama hidup di kota ini. Sejatinya kawan saya ini adalah orang yang pintar, ulet, dan rajin, namun kini ia kalah, bahkan kekalahan yang dideritanya adalah dari musuh yang ia temui setiap harinya; realitas, yang sekarang menjadi hal yang legowo ia jalani. Namun saya tetap berharap api semangat masa mudanya dulu dapat menyala lagi, meskipun tidak untuk saat ini.


Kota-kota memang selalu memiliki banyak cerita, “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena Hasrat dan ketakutan,” kata tokoh Marco Polo kepada Kublai Khan dalam kisah masyur Italo Calvino. Ketika mengingat kata-kata itu saya selalu mengingat kawan saya yang saya temui ini. Malam sudah terlalu larut untuk kami berdua, saya diantarnya pulang ke penginapan, kami berpamitan dan berpisah. Saya masuk kedalam kamar, dan sedikit mengemas barang untuk pulang ke kota asal esok hari. Menjalani hidup yang sama seperti kawan saya lakukan, meskipun di kota yang berbeda.

 

 

 


Kereta itu menuju Wina, salah satu kota terindah di E ropa. Tidak ada yang ganjil dari perjalanan kereta tersebut, juga tidak ada yang...



Kereta itu menuju Wina, salah satu kota terindah di Eropa. Tidak ada yang ganjil dari perjalanan kereta tersebut, juga tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Jangan harap ada aksi pengungkapan kasus pembunuhan dalam perjalanan kereta seperti yang dilakukan oleh Hercule Poirot di  film Murder on the orient Express. Kereta menuju Wina ini hanya akan mengisahkan awal pertemuan tak disengaja laki-laki dan perempuan, yang hanya mempunyai waktu semalam. Tidak lebih.

Ya, seperti ini. Mengapa anjing yang tidur di bawah sinar matahari terlihat indah? Akan tetapi seorang pria, yang berdiri mengambil uang di ATM terlihat seperti sesuatu yang begitu tolol?

Laki-laki itu bercerita, perempuan itu hanya mendengarkan. Percakapan berganti dengan cepat, mengalir dan intens. Seperti sudah kenal lama, merasa cocok hanya dengan lewat percakapan. Bahkan mereka belum tahu nama satu sama lain. mereka sadar bahwa percakapan akan berakhir ketika kereta sudah sampai di Wina. Pertemuan mereka hanya sementara. Saat itu detik waktu seakan menjadi lebih penting, tiap persoalan yang dibahas adalah hal yang sangat berarti. Percakapan begitu panjang, dan semakin lama semakin menyenangkan. Obrolan mereka sangat wajar dan tidak perlu dikhawatirkan atau ditakutkan oleh banyak orang. Sewajar anjing yang sedang berjemur di bawah sinar matahari.



Kereta sampai di Wina, percakapan berakhir, laki-laki itu harus turun dan menunggu penerbangan ke Amerika esok paginya. Sedangkan perempuan itu masih akan menaiki kereta yang sama menuju paris untuk kembali kuliah. Mereka berpamitan dan mengucap selamat tinggal, seperti ada ketidakrelaan berpisah dari kedua air muka mereka. Akan tetapi kereta sudah sampai, laki-laki itu harus turun dan mereka memang harus berpisah.

Tetapi cerita tidak berakhir sampai di situ, laki-laki itu mengajak perempuan berambut pirang tersebut untuk ikut dengannya turun di Wina, sambil menemani menunggu pesawat esok paginya. Perempuan itu mau, dan cerita selanjutnya adalah kisah yang tak akan mereka berdua lupakan seumur hidup. Walau mereka sepakat setelah malam itu menganggap kisah perjalanan di Wina ini tidak pernah terjadi, ingatan manusia tidak dirancang untuk melupakan.

Mereka baru berkenalan setelah turun kereta, laki-laki bernama Jesse mengaku tidak punya cukup uang untuk menyewa hotel untuk menginap, Celine yang diajaknya turun tidak begitu mempermasalahkan tentang bermalam. Mereka hanya berjalan, menaiki trem, menuju ke kafe, menyusuri dinginnya malam, berpelukan melihat lampu kota, berniat menghadiri pertunjukan akan tetapi tidak terjadi, berbaring dan berciuman. Tidak lebih. Mereka sadar setelah ini semua, mereka tidak akan bertemu lagi. Jadi mereka memutuskan untuk tidak menambahkan momen menyenangkan lain yang sulit dilupakan.

Di sepanjang cerita kita hanya akan dihadapkan dengan kedua orang yang saling bercerita, percakapan mereka begitu mengalir dan tanpa sekat. Seperti tanpa skenario, mereka seakan berbicara nyaris di luar kepala, seakan begitu nyata, walau di tempat lain hal itu memang nyata. Hal-hal yang dibicarakan begitu menarik sehingga tidak akan bosan mengikuti alur ceritanya, yang hanya menampilkan dua tokoh saja. Namun ini yang membedakan dengan genre drama lainnya.

Mereka berdua jatuh cinta, kebersamaan mereka hanya satu malam. Hanya sementara itu. Tapi anehnya kita yang menontonnya akan serius menunggu kelanjutan hal yang sementara itu. Percakapan mereka begitu sederhana, akan tetapi kita akan sepakat bahwa percakapan yang sederhana itu justru yang membuat semuanya istimewa.



Malam indah dan dingin itu bisa mereka susuri hanya malam itu saja. Seharusnya mereka bisa lebih bahagia pada saat itu. Seakan bebas, dan tanpa terikat dengan hal apapun. Akan tetapi, mereka hanya berjalan mengelilingi kota, hanya berdua, mencari kehangatan, dan bercerita. Seakan tidak ada hari esok untuk bersama, dan mereka mengasihani nasib masing-masing.

Ini seperti mimpi, aku di mimpimu, kamu di mimpiku. Dan ketika terbangun kita menganggap ini semua tidak pernah terjadi.

Mereka tidak begitu memusingkan orang lain, terkadang orang sibuk memikirkan pendapat orang lain, ketimbang memikirkan kematian mereka sendiri. Sifat itu muncul alamiah, dan akan lebih manusiawi jika tidak terlalu dikhawatirkan. Mereka berdua tidak pernah bertengkar dengan mimikirkan pendapat orang lain, mereka berjalan, mereka berbincang. Tanpa bertengkar perihal adakah orang yang mempermasalahkan aktifitas mereka.

Setidaknya kita sadar ada yang beharga dari apa yang sejatinya terbatas. Dalam film Before Sunrise ini jesse dan Celine mengetahui banyak hal yang sering mereka lewatkan. Waktu tiba-tiba begitu penting, seakan tidak mau terpisah hanya karena terbatasnya waktu. Tapi di kota Wina mereka seperti halnya orang jatuh cinta; tampak tolol, seperti orang yang berdiri di depan mesin ATM. Akan tetapi malam itu mereka menemukan sesuatu yang sederhana, fana, namun berharga.

Jesse: Aku pikir itu sangat benar, maksudku, semuanya begitu terbatas, tapi kamu jangan berpikir bahwa itulah yang membuat waktu kita, pada saat-saat tertentu begitu penting?

Celine: Ya, aku tahu. Itu sama bagi kita malam ini, meskipun besok pagi, kita tidak akan bertemu lagi.

Pagi menjelang mereka berpisah di stasiun Wina, tidak ada yang menangis, hanya janji akan bertemu lagi yang fana. Memang kehidupan terbagi dengan pertemuan dan perpisahan. Bukan kematian, bahkan lebih buruk, kehampaan. Seharusnya memang mereka tidak harus bertemu.

Dihari pertamanya bekerja, dia sangat gugup dan dadanya berdebar bukan main. Kali ini pekerjaannya hanyalah sebagai pendamping, bukan j...



Dihari pertamanya bekerja, dia sangat gugup dan dadanya berdebar bukan main. Kali ini pekerjaannya hanyalah sebagai pendamping, bukan jadi pemimpin pasukan lagi. Akan tetapi atasannya bukan orang sembarangan. Bahkan saat itu, jika ada orang yang mendengar nama atasanya, maka sebesar apapun nyali orang pasti akan takut. Sebagai ajudan baru, Soerjadi hanya mendapat pesan dari ajudan sebelumnya bahwa “Bapak hanya ingin dengar kabar yang baik-baik saja”.

Nasihat yang sulit untuk dikerjakan dengan takzim memang. Dengan pergolakan peristiwa dan kondisi tahun 1981, adalah hal yang sulit jika hanya mengabarkan tentang kondisi yang adem-ayem. Walau situasi aslinya Indonesia diluar dari keadaan tentram. Namun Soerjadi tahu pekerjaan barunya lebih sulit daripada membariskan rapi satu pleton pasukan, karena Presiden kita saat itu selain takut akan kehilangan kekuasaan, juga takut mendengar kabar buruk. Soerjadi harus pandai menutupi, setidaknya dia mulai belajar menggunakan bahasa dengan penyampaian yang enak didengar.

Ketika pertama kali satu mobil dengan atasannya, Soerjadi duduk di samping sopir. Sedangkan Soeharto duduk di kursi belakang sambil menghisap pipa cerutunya. Mobil mengarah ke Jalan Cendana Jakarta, pulang ke rumah Presiden. Belum ada perkenalan dan percakapan, hanya suara gending dan gamelan jawa yang mengisi kecanggungan terlantun dari radio mobil.

Setelah mengumpulkan keberanian, Soerjadi mencoba memulai percakapan lebih dahulu. Dipikirannya hanya takut suatu saat akan mengabarkan hal buruk, jadi dia memohon diri terlebih dahulu.“Mohon maaf pak” katanya dengan santun. Yang diajaknya bicara hanya berdeham dengan suara berat. “Mohon izin, mungkin suatu saat nanti saya memberi laporan yang kurang berkenan bagi Bapak” katanya berhati-hati.

Soerjadi menuntaskan kegelisahannya, namun bukannya lega Soerjadi semakin gelisah karena menunggu jawaban atas pernyataannya. Di belakang Soeharto menghisap cerutunya dalam-dalam dan whus! Sang Presiden menghembuskan asap cerutunya tepat mengenai tengkuk Soerjadi. Soerjadi kaget sekaligus merinding ketakutan. Itulah pertama kali dia mencium bau asap cerutu, dan tidak ada pembicaraan lagi selama perjalanan. Berselang waktu Soeharto memecah kebisuan, “Soer disini tempatnya belajar” ucap Soeharto. Soerjadi hanya bisa mengangguk.

Itu hanya sepenggal cerita saat Letkol Soerjadi menjadi ajudan Presiden Soeharto tahun 1981-1986. Dia dipilih dan tidak menolak tugas, atau lebih tepatnya nasib. Di periodenya menjabat sebagai  ajudan, banyak peristiwa penting yang dilaluinya bersama Soeharto, salah satunya adalah peristiwa Tanjung Priok. Sejarah kelam warisan Soeharto yang masih menimbulkan kontradiksi hingga saat ini, para pelakunya bebas. Keluarga korban menuntut keadilan, namun keadilan tidak kunjung datang.

***

Poster bertuliskan “Agar Wanita Memakai Pakaian Jilbab” tertempel di Musala As-Sa’adah, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Anjuran yang biasa-biasa saja, akan tetapi pada 14 September 1984 poster tersebut menciptakan tragedi yang menyedihkan.

Pergolakan politik tentang asas tunggal Pancasila yang saat itu diutarakan pemerintahan Soeharto ditentang oleh beberapa muslim. Hingga suatu pagi anjuran agar dicopotnya poster itu dari Musala  tidak digubris warga. Warga menilai tidak ada yang salah dari poster tersebut, sehingga tidak perlu dicopot. Hingga salah satu Babinsa, Sersan Satu Hermanu menghapus poster tersebut dengan koran yang dibasahi air got. Terdengar kabar bahwa Hernamu menjalankan aksinya tanpa menanggalkan sepatu larasnya. Musala itu kotor. Warga yang muntab mendengar kabar tersebut marah dan ingin menghajar, Hernamu dilindungi salah satu tokoh setempat, warga yang kepalang geram hanya bisa membakar sepeda motor Babinsa itu. Alhasil beberapa yang ditengarai pelaku pembakaran diamankan Tentara di Kodim. Mereka mengamankan empat orang pemuda.

Warga menuntut agar keempat pemuda segera dibebaskan, termasuk tokoh masyarakat Amir Biki juga ikut dalam kerumunan, masa protes dengan memenuhi Jalan Sindang Raya, Tanjung Priok. Para tokoh berunding dengan pimpinan Kodim. Selain menolak asas tunggal yang digalang pemerintah, mereka juga menuntut agar pemuda yang ditangkap segera dibebaskan paling lambat pukul sebelas malam. Negosiasi gagal, tuntutan tidak dipenuhi, aksi masa kembali berlanjut.

Masa merangsak lebih dekat ke kantor Kodim, suara tembakan meletus. Peluru senjata semi otomatis merubuhkan para demonstran. Malam itu berubah menjadi kelam, sangat kelam dan berdarah. 700 korban tewas tercatat hari itu. Akan tetapi pemerintah hanya menghitung 28 korban saja. Kasus yang tidak pernah tersentuh selama pemerintahan Soeharto, bahkan tidak ada yang berani mengungkitnya. Apakah peristiwa malam itu terdengar Soeharto di Istana? Sungguh hanya Soerjadi dan Tuhan yang tahu.

***

Peristiwa lainnya yang dilaluinya bersama Soeharto adalah Pembajakan pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia. Lebih dikenal dengan Peristiwa Woyla. Pesawat bertujuan Medan ini dibajak lima orang teroris mengatasnamakan “Komando Jihad”. Alhasil pesawat dibawa pembajak sampai Bandara Don Mueang, Bangkok. 57 penumpang dirundung ketakutan, 5 teroris membawa pistol dan granat. 65 jam dalam pesawat yang dibajak adalah siksaan badan dan trauma batin para korban.


Soerjadi saat itu menjadi penghubung antara Presiden Soeharto dengan tim penyelamat sandera yang dipimpin oleh Jendral Yoga Sugomo dan Letjen Benny Moerdani. Menjelang petang tim Kopassandha (saat ini Kopasus) siap untuk melakukan misi penyelamatan dengan masuk ke dalam pesawat. Yoga menghubungi Istana, meminta saran tentang misi penyelamatan “Kita mau nyerang, mohon petunjuk Bapak (Soeharto), jam berapa baiknya?” pesan itu diterima Soerjadi dan langsung menghadap ke Soeharto yang saat itu sedang membaca koran di ruang kerjanya. “Wis, Benny wis ngerti” jawab Soeharto setelah Soerjadi menyempaikan pesan. Soerjadi bingung, tapi tidak berani menanyakan ulang maksud jawaban Presiden. Dengan berbekal jawaban singkat dia kembali melapor ke Yoga.

“Lapor Pak” kata Soerjadi.

“Apa Dhawuhe Bapak?” tanya Yoga.

“Bapak tidak bicara apa-apa, Katanya Benny wis ngerti” kata Soerjadi.

“Opo maksude?” Yoga yang bingung bertanya lagi.

 “Saya juga ngga tahu pak” jawab Soejadi.

Pukul tiga dini hari misi pembebasan sandera berhasil dilaksanakan, seluruh penumpang selamat. 5 teroris berhasil dilumpuhkan, pilot, asisten pilot, dan satu orang tentara penyelamat gugur saat misi berlangsung. Jendral Yoga melapor ke Soerjadi. Membawa kabar baik Soerjadi memberanikan diri mengetuk pintu kamar Presiden pada pagi buta. Dari dalam kamar Ibu Tien menjawab dengan nada setengah teriak. “Ono opo bengi-bengi bapake kok ditangek-ke” jawab Ibu Tien sembari membuka pintu kamar. Dari dalam Soeharto menyusul ke pintu kamar. Soerjadi langsung melapor “Lapor pak, misi penyelamatan sudah selesai” belum sampai melanjutkan lebih detail laporanya, Soeharto langsung menjawab singkat, “Yo wis” dan pintu kamar kembali ditutup. Soerjadi bingung, dan langsung paham.

Seharusnya dia menunggu sampai Presiden bangun dari tidur. Memang apapun baik dan buruk kabar yang dibawanya, Soerjadi harus bisa memilih waktu dan bahasa yang pas didengar telinga presiden. Karena dia mengalami sendiri bahwa Presiden Soeharto; takut mendengar kabar buruk, apa lagi mendengar kabar buruk tentang putra bungsunya. Karena jika Soeharto bertanya di mana dan sedang apa Tommy Soeharto. Soerjadi harus tahu dan siap dengan jawaban bahwa si bungsu sedang baik-baik saja.

Soerjadi adalah penyampai pesan, berbeda dengan Jibril. Soerjadi hanya pemberi kabar baik, berbeda dengan Wiji Thukul. Soerjadi hanya pelaksana tugas, dibatinnya timbul pertanyaan. Soeharto yang ditakutkan oleh semua orang adalah pribadi yang dirundung kecemasan. Jangan ada kabar buruk, beruntung pada saat itu informasi sangat terbatas. Kabar hoax belum sebanyak sekarang, bagaimana jika saat itu kabar bohong berserakan seperti saat ini? Sungguh daripada Soeharto, Soerjadi pasti jauh lebih takut.

Seseorang pernah menulis sajak, mungkin baginya harapan, atau barangkali sebuah kumpulan “Doa Sederhana Bagi Dunia yang Ruwet” barangk...



Seseorang pernah menulis sajak, mungkin baginya harapan, atau barangkali sebuah kumpulan “Doa Sederhana Bagi Dunia yang Ruwet” barangkali itulah solusi dari segala masalah manusia; berdoa.

Sebab seringkali kita terheran-heran. Siapakah atau pikiran? Di dunia yang penuh dengan keruwetan dan ketidakjelasan. Manusia hanya bisa berdiri dan merenung. Memilih berjalan bukanlah solusi yang konkrit, rencana bukan saja meminimalisir ancaman. Sahabat bisa berubah menjadi kekerasan. Joseph Conrad pernah menulis sepenggal bisikan putus asa manusia bernama Kurtz, yang sekarat di tengah hutan Kongo. “The horor, the horor”.

Kita bisa melihat ekpresi putus asa Kurtz dalam film Appocalipsye Now! Tapi bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah kita bisa dibuat bergidik, mendengar seruan fanatisme yang sanggup menggerogoti dan membunuh. Sukma yang rusak lebih mengenaskan dari pada badan yang terkoyak peluru mesin. “Alam pikiran manusia” kata Conrad. “Mampu untuk melakukan apa saja, segala sesuatu di dalamnya, semesta masa lalu, semesta masa depan”.

Conrad masih mengambang dalam pembahasan keruwetan manusia tentang alam pikiran yang ada. Sumber keruwetan ada di dalam otak manusia, itu memang benar. Tapi siapa yang memilih? Tidak ada yang pernah memesan keruwetan pikiran kepada Tuhan, kalaupun ada, itu pesanan yang konyol.

China tahun 1989 pernah dibuat gempar dengan manusia yang menghadang empat tank sendirian. Tidak ada yang tahu dia siapa. Media dan warga dibuat penasaran. Siapa manusia tinggi berbaju putih yang menghadang keruwetan itu?

Sebelumnya demontrasi terjadi di daerah Tiananmen Beijing, puluhan demonstran mati ditembak tentara. Barangkali itu adalah alasannya. Tokoh kita ini mungkin adalah warga yang muak dan menahan marah. Barangkali saat menghadang itu juga ia berseru “kembalilah kalian, silahkan beristirahat, korban yang kalian habisi sudah cukup”.

Saat ini mungkin semua mengingatnya sebagai “The Tank Man” seseorang yang menghadang dan menghendaki semua yang mustahil. Sebab saat itu penguasa begitu superior. Penguasa dengan mudah mengatur dan menggunjing semua yang menuntut kemerdekaan, dan mematikan mereka yang bersuara.

Barangkali tidak sepahaman antara penguasa saat itu dan tokoh kita ini, walaupun itu baik, tidak sepenuhnya positif untuk bersama. Tapi Conrad juga melupakan sesuatu hal, semesta yang dijelaskan kurang akan satu permasalahan. “Semesta yang tak terduga” adalah sesuatu hal yang tidak bisa diprediksi, dikehendaki atau tidak, itu semua urusan individu. Merugikan atau tidak? Bermasalah atau tidak? Semua tergantung orang lain menyikapi.

Menilai berlebihan mungkin juga bisa. Tapi mempermasalahkan suatu hal yang lumrah bisa menjadi suatu kesalahan. Bagaimana kebingungan menjadi hal yang seringkali terpikir dibanding rasa lapar. Serba salah adalah sesuatu yang sering kali dihindari. Mungkin maksutnya seperti ini, Conrad berpikir semesta yang tak terduga akan datang, dan memang sudah datang. Lalu mereka akan seperti “The Tank Man” yang menghalau segala masalah yang merugikan.

Memang Heroisme muncul disaat-saat yang tidak diharapkan. Meskipun bukan di hari ini.

“Kita hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari” Saya dan salah satu teman akhirnya sampai di kawasan wisata Agrowisa...



“Kita hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari”

Saya dan salah satu teman akhirnya sampai di kawasan wisata Agrowisata Kusuma. Kota Batu sudah memamerkan hawa dinginnya walau waktu masih menunjukkan pukul dua belas siang. Belum ada kabut, namun gigil sudah kami rasakan ditengah guyuran sinar matahari. Setelah memakirkan kendaraan, lantas kami menuju ticket box untuk membeli tiket masuk Folk Music Festival (FMF) hari pertama; Musik Literasi.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kali ini dalam penyelenggaraannya yang keempat, FMF mengusung satu tema baru yaitu: Literasi. Tema baru ini memang adalah suatu entitas yang memang tidak bisa dipisahkan dari aliran music folk itu sendiri. Berdasarkan alasan itulah Alex Kowalski sang penggagas FMF menambahkan satu tema besar dalam festivalnya tahun ini.

Open gate hari pertama dibuka jam setengah dua siang. Setelah mendapatkan tiket dan bergegas kedalam venue, kami mendapati diri kepada kebingungan. Kebingungan pertama adalah tidak adanya arah penunjuk jalan ke mana kita harus menuju ke venue acara. Kamipun sampai harus dibimbing oleh salah satu panitia untuk sampai ke venue acara.


Sampai di venue, berdasarkan hitungan jam kami masuk sudah dalam hitungan telat 10 menit dari rundown. Tapi keadaan masih sepi dan belum ada tanda-tanda akan dimulainya acara. Peserta yang datang hanya sekitar tujuh puluh lima orangan, cukup sedikit untuk acara sebesar ini.

Walaupun begitu saya mempunyai keyakinan, bahwa peserta yang datang  dihari pertama pasti mempunyai frekuensi pikiran yang sama antar satu sama lain, suka baca buku, suka aliran musik folk, dan pasti orang yang datang di hari pertama ini memiliki rasa keinginan tahuan yang tinggi akan semua hal. Acara baru dimulai sekitar jam dua siang dengan diawali talk show dengan tema diskusi: Sekelebat Festival.



Sekelebat Festival adalah tema diskusi yang diambil guna memberikan informasi dan inspirasi kepada para peserta talk show bagaimana cara memulai suatu festival? Apakah sebenarnya esensi dari sebuah festival? Bagaimana suatu festival bisa bertahan dan berkelanjutan? Pada kesempatan kali ini Nuran Wibisono jurnalis Tirto.id didapuk menjadi moderator talk show. Para panelis yang didatangkan antara lain Ifa Isfansyah selaku Direktur Eksekutif Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Hardiansyah Putra Siji Sebagai Project Director Rock In Celebes, dan terakhir Shinta Febriany sebagai Kurator Makasar Internasional Writers Festival 2018 yang terlambat datang karena pesawatnya terkena delay.

Kemudian dilanjut dengan talk show kedua dengan tema: Folk Indonesia Timur. Ditema kedua ini lebih mendiskusikan tentang bagaimana lagu folk (rakyat) Indonesia timur, khususnya Ambon didominasi dengan lirik kerinduan akan tanah kelahiran yang diramu dengan bahasa melayu pasar. Fuad Abdulgani (Antropologi Universitas Lampung), dan M. istiqomah Djamad (Pusakata) didapuk sebagai narasumber.

Disesi kedua ini sebenarnya lebih banyak mengulas tentang tulisan Fuad Abdulgani yang berjudul Pulang Aleyo. Didalam tulisan tersebut Fuad membahas bagaimana kehidupan orang-orang Ambon sebelum Belanda datang, sampai para orang Ambon dijadikan budak di luar Maluku oleh VOC karena kekuatan fisik mereka. Sampai akhirnya setelah proklamasi Republik Indonesia orang-orang Ambon yang mendeklarasikan sebagai Republik Maluku Serikat (RMS) harus diasingkan ke Belanda oleh bangsa Indonesia.



Karena keadaan jauh dari tanah kelahiran itulah musik rakyat Ambon sebagian memiliki lirik kerinduan terhadap tanah tumpah-darah mereka. Musik rakyat yang senantiasa memiliki arti dalam tentang rindu kepulangan akan kampung halaman.

Beta berlayar jauh

Jauh dari Ambon e

Di tanah orang . . .

Baru beta menyasal e

Mangapa beta mau

Buang diri bagini

Jauh dari pangku mama

Sungguh asing lawang e

La apa tempo beta pulang

Ka Ambon e . . .

Lautan lebar gunung tapele

Mari mama gendong beta
La bawa pulang jua e
Ke tanah yang ku cinta
Ambon manis e . . .


(Beta Berlayar)



Kemudian malam menjelang, hawa dingin bertambah menggigil. Termometer digital di gawai menunjukkan angka 16 derajat celcius, angin kencang bulan Agustus menambah gigil semakin menjadi-jadi. Akan tetapi semua hal tersebut tidak menyusutkan semangat para peserta untuk terus mengikuti rangkaian acara.

FMF berlanjut dengan Talk Show dengan tema diskusi: Semesta Online Media, yang diundang bukan sekedar media biasa ataupun media berlabel medioker. Nama besar Vice sebagai media internasional yang berbasis di Amerika, kemudian Tirto.id media nasional dengan kaya akan data disetiap artikelnya, BaliBengong media lokal asal Bali yang menjadi acuan referensi terpercaya berita-berita yang ada di pulau Dewata.

Diskusi kali ini membahas bagaimana media berperan sebagai sarana informasi dan edukasi kepada masyarakat? Bagaimana media bisa terus konsisten? Sumber pendapatan media-media sekelas vice dan Tirto.id? dan itu semua dipandu dengan pembawaan santai, namun juga jenaka oleh Felix Dass sebagai moderator.

Diskusi berganti dengan Penyair Aan Mansyur dan Novelis Mahfud Ikhwan sebagai narasumber. Literasi Indonesia Timur adalah tema yang mengorek bagaimana cara kedua penulis besar itu mendapat ide kreatif dalam membuat karya. Inspirasi mereka bermula dari hal-hal kecil, Aan yang sejak kecil sering berkomunikasi surat puisi dengan ibunya, dan Mahfud yang masa kecilnya terhipnotis mendengar drama kolosal “Brama Kumbara” dari siaran radio.

Mereka juga bercerita bagaimana kebermulaan proses menjadi penulis dari awal hingga sekarang. Aan menceritakan bahwa ia sosok yang pendiam sejak kecil, dan menulis adalah satu-satunya medianya dalam bercerita. Sedangkan Mahfud bercerita kebingungannya tentang kenapa begitu mudahnya kebudayaan India begitu gampang diterima oleh rakyat Indonesia. Mereka berdua adalah kolaborasi penutup yang apik dirangkaian Talk show FMF hari pertama.

Giliran Goenawan Maryanto yang mengambil alih suasana. Dengan membaca beberapa puisinya yang begitu dalam, pemeran Widji Thukul dalam film istirahatlah kata-kata ini mampu membuat semua penonton terbius kedalam pembacaan puisinya yang dramatis.

Ditutup dengan dua penampilan musik yang dibawakan oleh musisi asal Malaysia Fikri Fadzil dan juga Band Rock asal Yogyakarta yang kini menampilkan formasi akustiknya, sehingga mengganti nama band mereka dengan sementara menjadi Folkvtlst.

Folkvtlst menjadi penutup sekaligus nafas lega semua acara di rundown FMF hari pertama. Ilmu yang didapat sangat banyak dari para panelis dan narasumber yang dihadirkan. Ini membuat otak menjadi penuh, dan sekaligus kosong. Kesan pada acara ini pasti berbeda-beda disetiap peserta yang datang, akan tetapi semua pasti merasakan kesenangan yang cukup untuk hari ini.

Kami bergegas menuju penginapan, sambil menyiapkan diri di hari esok, Folk Music Festival hari kedua.

Tokoh kita kali ini bernama Semar, ia selalu digambarkan sebagai sosok bijaksana, juga selalu muncul di setiap pentas pewayangan den...




Tokoh kita kali ini bernama Semar, ia selalu digambarkan sebagai sosok bijaksana, juga selalu muncul di setiap pentas pewayangan dengan babak “goro-goro”. Semar adalah salah satu gambaran populer sebagai guru yang memberi wejangan tentang ilmu dan pandangan hidup kepada para murid-muridnya, serta menjadi peran masyarakat biasa disetiap lakon-lakon yang dipentaskan pada wayang jawa.
           
Ada banyak versi bagaimana Semar lahir, salah satu versinya adalah; saat itu Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati. Dari pernikahan itu lahirlah sebuah telur yang bercahaya emas yang menyilaukan, dan entah karena sebab apa telur itupun pecah dengan sendirinya. Telur yang pecah itu terbagi dengan tiga bagian, yang kemudian masing-masing menjelma menjadi anak. Anak yang berubah dari bagian cangkang telur diberi nama Antaga, Anak yang berubah dari bagian putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan dari kuning telur diberi nama Manikmaya.

Ketiga anak inilah yang nantinya menjadi tokoh guna membentuk poros cerita bijak epos Mahabarata. Manikmaya menjadi Bathara Guru yang ditugaskan menjaga kayangan, Antaga menjadi Togog bertugas untuk menasehati para tokoh antagonis Kurawa, sedangkan Ismaya bertugas menjadi pamong untuk para Pandawa.

Tugasnya sebagai pamong sama seperti Prabu Kresna, yaitu menuntun para anak-anak Pandu untuk memberi bimbingan karakter, moral, etika, ataupun bertindak. Tugasnya adalah menasehati, bukan untuk memprovokasi. Seperti halnya Togog di sisi Kurawa, Semar adalah sosok pelurus dari sekian jalan cerita yang absurd.

Semar setidaknya memang digambarkan dengan fisik yang ambigu, jikalau dia laki-laki kenapa dia memiliki payudara, kalaupun perempuan dia memiliki rambut ujung yang menyumbul. Mulutnya dipahat tersenyum, namun kelopak matanya dipoles sedih. Akan tetapi Semar tetaplah Semar. Seorang penasehat kerajaan dengan hidup yang melarat di desa Karang Kedempel, juga seorang rakyat jelata yang dihormati oleh strata ksatria. Bahkan dilakon “Semar Bangun Kayangan” dewa sekelas Bathara Guru sangatlah takut terhadap Semar. Banyak sekali kontradiksi terhadap tokoh kita ini, akan tetapi hal inilah yang membuat Semar menjadi tokoh yang menarik sebagai tritagonis disetiap lakon pewayangan.

Namun suatu pagi tokoh kita yang bijak ini nampak bingung dan gelisah. Petruk yang menyadari kegelisahan bapaknya menanyakan sebabnya. Berceritalah Semar bahwa sebab kegundahannya adalah mencemaskan kerajaan Amarta yang dipimpin Pandawa dirasa gagal untuk membangun dan memerintah sebuah kerajaan. Disinilah beban moral dipikul oleh Semar, sebagai guru Semar menilai dirinya gagal mendidik para Pandawa untuk memimpin suatu Negara.

Diutuslah Petruk untuk pergi ke Amarta untuk bertemu para Pandawa guna meminjam ketiga pusaka milik mereka. Ketiga pusaka itu adalah Jamus Kalimasada, Payung Tunggulnaga dan Tombak Kalawelang. Serta mengundang seluruh Pandawa untuk datang ke Karang Kedempel guna membangun Kayangan.

Sesampainya di Amarta Petruk mengungkapkan kedatangannya kepada para Pandawa yang saat itu sedang berunding dengan Kresna, perihal kegagalannya dalam memerintah. Petruk malah diusir oleh Kresna yang marah-marah, Kresna menilai Semar yang berencana membangun Kayangan sama saja melawan para dewa dengan membangun Kayangan tandingan. Hal ini juga sangat berbanding terbalik dengan tugas Semar yang notabenenya hanya sebagai pendidik para Pandawa. Sehingga bagi Kresna tindakan Semar harus diluruskan.

Petruk meyakinkan Pandawa bahwa tujuan bapaknya baik, oleh karena itu para Pandawa harus mendukungnya. Kengeyelan Petruk membuat Kresna sangatlah marah, sampai menyuruh Petruk untuk keluar dari Amarta.

Singkat cerita Kresna yang muntab pergi ke kayangan bersama Arjuna untuk mengadu dengan Bathara Guru, sedangkan para keempat pandawa yang masih gundah mencoba bersemedi di depan ketiga pusaka atas usul Sadewa. Mereka menyakini ketika bersemedi nanti, jika ketiga pusaka itu tetap berada di posisinya maka Kresna lah yang benar, namun ketika ketiga pusaka itu berpindah tempat maka Semar lah yang benar. Ditengah semedi mereka rupanya ketiga pusaka itu melesat dan berpindah menuju Karang Kedempel ke rumah Semar. Kempat Pandawa yang menyadari hal tersebut juga langsung ikut pergi ke Karang Kedempel, guna membangun Kayangan.

Dalam lakon ini sebenarnya ada kesalahpahaman seorang Kresna dalam menafsirkan kata “Bangun Kayangan” milik Semar. Dalam benak Kresna Bangun Kayangan adalah membangun surga guna menandingi surga yang telah dibuat oleh para dewa. Akan tetapi bagi Semar sendiri Bangun Kayangan sendiri adalah membangun hati. Ia menilai bahwa kegagalan Pandawa memerintah karena mereka sedang jauh dari hati nurani mereka dalam hal memimpin. Kritisnya negeri Amarta dikarenakan para pemimpinya yang sudah tidak merakyat lagi. Para pemimpin yang harusnya mengayomi dan melayani rakyatnya malah tidak lagi melakukan tugasnya.

Hal itu digambarkan saat Petruk datang ke Amarta untuk menyampaikan pendapat bapaknya malah diusir dari istana. Petruk yang sebagai tokoh rakyat jelata diusir oleh bangsa ksatria hanya karena menyampaikan pendapat. Bahkan para ksatria sampai salah menafsirkan dan marah-marah hanya karena mendapat masukan dari rakyatnya.

Dalam lakon ”Semar Bangun Kayangan” seperti menghadirkan nasihat kepada para pemimpin untuk selalu mendengar apa yang diucapkan rakyatnya. Ungkapan latin “Vox populi, vox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan sangatlah kental dalam lakon tersebut. Nyatanya para pujangga jawa tak kalah lihai dalam menciptakan cerita guna mengkritik para pemimpinnya dulu. Bahkan lakon tersebut juga masih relevan sampai sekarang.

Sudah diceritakan, bahwa Semar menyuruh Petruk untuk meminjam tiga pusaka yang sebenarnya memiliki makna filosofis yang sangat dalam untuk para pemimpin. Pusaka Jamus Kalimasada adalah filosofi dari ucapan kedua Syahadat dimana pemimpin harus selalu ingat dan memegang teguh ajaran agamanya. Sedangkan dalam hal melindungi, melayani dan meganyomi diistilahkan dengan pusaka Payung Tunggulnaga, dengan maksud dapat memanyungi rakyat. Tombak Kalawelang sendiri diartikan bahwa pemimpin harus seperti tombak, sebagai pembenar dan menumpas segala bentuk kemurkaan, serta menegakan keadilan.

Walaupun sangat sulit untuk mencari pemimpin yang ideal dalam berbagai hal. Semua tentang kriteria pemimpin bagi kita hanyalah sebuah pengandaian, semua hanya cita-cita. Entah itu semua akan terwujud, atau hanya seperempatnya. Bijaksana, jujur, amanah dan segala hal tentang kesempurnaan itu hanya sebuah idealisme. Nyata tidaknya tergantung apa yang diperbuat dan dilakukan.  

          Bagaimanapun juga lakon “Semar Bangun Kayangan” akan tetap dipentaskan disetiap pewayangan, bukan untuk pengingat, bukan juga untuk melestarikan budaya. Akan tetapi untuk semua rakyat agar tetap menerima, bahwa para pemimpinnya juga orang biasa.

“Aku ingin pulang ke rumahku,Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau,bangun tubuh dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” -Dimas ...




“Aku ingin pulang ke rumahku,Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau,bangun tubuh dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” -Dimas Suryo. Hal: 280.

Salah satu teman dengan menggebu-gebu menyuruh agar saya membaca novel pulang karya Leila S, Chudori ini. Setelah mendengar secara ringkas ceritanya dan melihat beberapa review buku ini di internet. Akhirnya membuat saya penasaran dengan buku keluaran tahun 2012 tersebut.

Untuk menemukan buku ini saya harus mencari dengan memutari rak buku selama 2 jam, dan merepotkan 3 mbak-mbak penjaga toko buku Gramedia untuk membantu saya, walaupun itu sepenuhnya juga bukan salah saya. Karena buku berjudul pulang tersebut tidak ada pada rak buku dengan kode yang sama pada layar komputer pencarian.

Selain itu saya juga salah memberikan contoh cover buku pulang (cover pulang yang berwarna kuning) kepada mbak-mbaknya. Karena saya tidak tahu kalau cover yang terbaru adalah berwarna abu-abu dengan tulisan “pulang” yang disusun acak. Alhasil mbak-mbaknya harus mengelilingi rak dan mencari kesana-kemari dengan pikiran buku judul pulang dengan cover warna kuning, walaupun akhirnya mbaknya dengan nada menyerah berucap.

“maaf mas mungkin bukunya itu sudah ditarik, karena itu buku lama” kata mbak-mbaknya dengan name tag Rina tersebut.

“di komputer saya lihat masih ada 15 stok kok mbak” coba saya keukeuh.

“ohh mungkin itu system kami mas yang belum diperbarui” timpal mbak Rina lagi.

“ealah ya udah mbak kalo gitu” ungkap saya mengalah.

Lalu mbak Rina pergi seraya mengucapkan maaf. Sedangkan saya masih belum percaya bahwa buku tersebut sudah ditarik penerbit, karena jika di komputer pencarian itu masih ada, maka seharusnya di buku tersebut juga masih tersedia. karena semua buku yang masuk di Gramedia ini pasti sudah diinput dalam database, sedangkan kalau buku tersebut sudah tidak ada pasti didalam komputer pencarian menampilkan bahwa buku tersebut stoknya 0. Setidaknya saat itu ilmu IT saya sedikit berguna heuheuheu.

Saya lalu mencoba mencarinya lagi, berpindah dari satu rak kesatu rak yang lain. Dari rak sastra, pindah ke rak sejarah, lalu pindah lagi ke rak kesehatan: yang berisi buku kesehatan ibu hamil. Alhasil saya kembali pada rak sastra-novel. Lalu menemukannya, ternyata buku “pulang” tersebut berada di bagian bawah rak dengan cover terbaru (berwarna abu-abu dengan tulisan “pulang” yang disusun acak) saya cek pengarang dan sinopsis yang ada di bagian belakang, seraya menyakini bahwa ini memang buku yang saya cari. Dalam hati saya mengumpat sebisanya sambil beranjak ke kasir menenteng buku tersebut. Asuu.

***

JUDUL BUKU : Pulang
PENULIS : Leila S. Chudori
HALAMAN : viii + 464 halaman
PENERBIT : Kepustakaan Populer Gramedia
TAHUN TERBIT : Desember 2012

Bisa dibilang ini novel pertama saya yang mengambil latar cerita dari tragedi-tragedi di Indonesia dan Prancis era tahun 1965, 1968, dan1998. Ada tiga tragedi yang menjadi latar belakang cerita novel ini. Pertama adalah tragedi 30 september 1965 pemberontakan PKI Indonesia, kedua revolusi Prancis Mei 1968, dan ketiga reformasi Indonesia Mei 1998.

Saya lebih suka menggolongkan novel pulang ini sebagai novel sejarah, atau sejarah yang disembunyikan. Seperti novel tetralogi pulau buru karya Pramodya Ananta Toer yang mengisahkan bagaimana kebangkitan pemuda Indonesia era sebelum kemerdekaan yang jarang muncul dalam buku sejarah. Sedangkan di novel Pulang, lebih menceritakan tentang cara bertahan hidup para eksil maupun tahanan politik yang dicap sebagai PKI,  dan yang dikira pengikut ideologi kekirian pada saat itu. Keduanya sama-sama novel yang mengajak kita untuk merefleksi sejarah yang ada, dan yang hilang.

Di dalam novel ini menceritakan bagaimana dampak dari kejadian G30S PKI terhadap para keluarga yang memang ikut dalam PKI, Lekra, dan GERWANI. Bahkan yang hanya simpatisan atau memang cuman  berkawan dengan salah satu anggota PKI juga akan diciduk. Seperti diceritakan, semua yang berbau PKI pada saat itu ada yang ditangkap, diinterogasi, ditahan, diculik, atau bahkan dibunuh (dengan peradilan atau bahkan tanpa peradilan). Bahkan kutukan PKI tersebut akan mendarah daging sampai anak-cucu mereka, sehingga ada diskriminasi sosial pada saat itu. Di mana mereka yang masih dianggap sebagai keluarga para komunis, maka pada KTP mereka akan diberi tanda ET (eks tahanan politik), dan sulit mendapatkan pekerjaan.

Namun di novel pulang ini lebih menceritakan bagaimana perjalanan para eksil politik, yaitu Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna. Yang harus berpindah-pindah Negara untuk bertahan hidup dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Keempat tokoh itu dianggap pengikut komunis oleh pemerintah saat itu, sehingga jika mereka pulang ke indonesia risiko terkecil adalah ditahan, risiko terbesarnya bisa dibunuh.


Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf adalah seorang wartawan pada kantor berita Nusantara, yang sejatinya tidak memilih dan mengikuti hal-hal yang berbau komunis. Namun sudah dikategorikan pada saat itu bahwa media atau wartawan yang mengkritik pemerintah, maka akan dikategorikan menjadi musuh oleh pemerintah.

Sebelum kejadian pemberontakan G30S PKI 1965, Dimas Suryo dan Nugroho pergi ke Cile untuk menghadiri konferensi wartawan dunia, menggantikan Hananto Prawiro yang harus mengurus masalah rumah tangganya dengan Surti Anandari, yang juga adalah mantan pacar Dimas Suryo. Sedangkan Risjaf harus menghadiri event yang serupa di Havana.

Setelah meletusnya Pemberontakan tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk berkumpul di Havana sebelum pulang ke Indonesia. Namun karena mereka dianggap simpatisan PKI, paspor mereka dicabut, sehingga mereka tidak bisa pulang.

Sedangkan di Indonesia Hananto Prawiro yang memang simpatisan PKI dan memilih mengikuti ideologi kekirian, walau diceritakan Hananto sendiri tidak pernah mengakui bahwa dirinya ikut PKI, harus main kejar-kejaran dengan aparat. Sampai akhirnya tertangkap pada 1968.

Akhirnya setelah Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna berkumpul. Mereka memutuskan untuk ke Peking (Cina) setelah itu baru mereka memutuskan untuk ke Paris. Disana mereka harus bekerja untuk bertahan hidup, gonta-ganti pekerjaan sudah menjadi kebiasaan. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membuka restoran masakan Indonesia dengan nama “Tanah Air”.

Ditengah-tengah Paris yang saat itu sedang terjadi demontrasi yang dikenal sebagai Revolusi Prancis 1968, Dimas Suryo menemukan tambatan hatinya, seorang wanita Paris yang mempunyai sepasang mata berwarna hijau, dengan rambut tebal, berombak berwarna brunette. Bernama Vivienne Devereaux.

“Benarkah angin tak sedang mencoba menyentuh bibirnya yang begitu sempurna” –Dimas Suryo. Hal: 11.

Dari pernikahan mereka berdua melahirkan seorang gadis bernama Lintang Utara yang selalu bertanya-tanya jati dirinya, dan selalu penasaran tentang apa yang bisa dia petik dari Negara asal bapaknya, Indonesia.

“Bagaimana aku caranya memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A?” – Lintang Utara. Hal: 165.

Dimas Suryo sendiri dalam hatinya selalu memimpikan agar bisa pulang ke Indonesia, dalam hidup ataupun mati. Dia selalu merindukan Indonesia bau tanah setelah hujannya, keluarganya dan tidak ketinggalan wanita pujaannya Surti Anandari. Walau kepulangannya itu sangat tidak diinginkan oleh pemerintah Indonesia.

Novel ini jika ditelaah memiliki dua babak, pertama adalah babak perjuangan Dimas Suryo dalam hidup menjadi eksil politik setelah tragedi G30S PKI. Kedua adalah pencarian jati diri Lintang Utara yang belum ditemukannya dalam kata Indonesia yang mengambil latar tahun reformasi Indonesia 1998. Novel ini memiliki alur maju-mundur sporadis pada setiap babnya yang sangat mudah dimengerti dan nyambung.

Dalam penokohan penulis memberikan setiap tokoh, porsi yang cukup dalam setiap bab yang ada. Sehingga pembaca bisa mengenal para tokoh dengan sangat detail. Seperti salah satu bab khusus membahas full tokoh Hananto Prawiro, Bab lain membahas full Dimas Suryo, bab lain lagi bercerita dari sudut pandang Vivienne Devereaux, dan tidak ketinggalan Bab yang mengambil sudut pandang Lintang Utara. Namun saya agak riskan dengan penggambaran tokoh protagonist dan antagonis yang sangat kontras. Seperti penggambaran rupa tokoh protagonist yang selalu tampan, cantik dan tidak kurang apa-apa. Sedangkan untuk penggambaran rupa peran antagonis, penulis memilih untuk mengambil kata-kata seakan-akan mereka buruk rupa, seperti tokoh interogasi yang berwajah hitam legam dan mesum, intel yang ompong dan digantinya dengan gigi emas.

Kelebihan yang lain adalah referensi penulis yang sangat banyak, selain itu riset yang dilakukan penulis selama 4 tahun membuat cerita ini nyata dan luput dari kehidupan kita. Selain itu pengambilan kutipan beberapa tokoh-tokoh penulis dan judul buku-buku terkenal untuk dijadikan inspirator para tokoh dalam cerita, membuat cerita menjadi semakin kaya dan berisi. Bahkan saya sampai dibuat penasaran dengan tokoh-tokoh dan judul buku-buku yang acap kali muncul dalam dialog ataupun narasi cerita.

Namun kekurangannya adalah gaya bahasa dan pemilihan kata penulis dalam setiap tokoh cerita yang terlihat sama saja, walau dengan sudut pandang tokoh yang berbeda. Sehingga membuat tidak ada ciri khas tersendiri dari salah satu tokoh tersebut, selain itu juga akan sedikit membingungkan pembaca jika tidak teliti membaca setiap bab yang ada.

Terlepas dari semua kekurangannya, Novel pulang ini sangatlah rekomendasi bagi kalian yang ingin melihat dampak dari G30S PKI dari sudut pandang sejarah yang berbeda. Bahwa sebenarnya ada sebuah sejarah yang disembunyikan, yang membuat kita bertanya-tanya, apakah memang itu kejadian sejarah sebenarnya? Buku ini seakan menjadi pembanding sejarah G30S PKI yang ada dan kita amini sampai saat ini. Seakan ingin mengajak pembaca mengungkap apa yang terjadi sebenarnya saat itu. Ada tanda tanya besar dalam sejarah kelam bangsa ini yang belum banyak orang ketahui.

Manakah sejarah yang benar, dan siapa pembuat sejarah yang benar. Sejarah yang dibuat oleh pemerintah orde baru, atau kesaksian sejarah dari mereka yang terzalimi?

“Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat?" - Segara Alam. Hal: 288.


Rasanya kita tidak perlu iri dengan Vietnam atas lolosnya timnas nasional sepakbola mereka ke final AFC CUP dan piala dunia U23 di t...




Rasanya kita tidak perlu iri dengan Vietnam atas lolosnya timnas nasional sepakbola mereka ke final AFC CUP dan piala dunia U23 di tahun depan. Walaupun kalah satu gol lewat perpanjangan atas Uzbekistan, para pemain mereka disambut seperti tentara yang pulang sehabis memenangkan perang oleh rakyat  Vietnam. Negara komunis itu memang sudah jauh berbenah dalam segala aspek dari pada Negara kita. Dalam 10 tahun terakhir Vietnam berkembang pesat dalam segi  Ekonomi, kesejahteraan, pembangunan, dan olahraganya. berbanding terbalik dengan Indonesia yang saat ini baru memulainya. Walaupun semua sadar bahwa kita iri, namun bukankah itu menjadi tanda tak mampu?

Tepat hari ini, delapan puluh delapan tahun yang lalu, saat Vietnam masih dijajah Prancis. Tokoh revolusioner mereka Ho Chi Minh, mendirikan Partai Komunis Vietnamyang, walau lebih biasa dikenal dengan Partai Komunis Indocina (Vienam, Laos dan kamboja). Dengan sepuluh pokok tujuan, walaupun dirinya hanya menekankan pada 3 pokok saja.

Pertama, melawan imperialisme Prancis, yang mengarah ke feodalisme dan melawan perbedaan kapitalis borjuis di Vietnam.

Kedua, membentuk kemerdekaan Negara Vietnam secara penuh dari penjajahan Prancis.

Tiga pokok yang terakhir adalah cita-cita partai komunis di manapun keberadaannya. Mendirikan suatu birokrasi permerintahan yang diisi oleh kaum dan golongan petani, buruh dan militer.

Motivasinya adalah mengisi kekosongan gerakan oposisi pribumi di Vietnam, menggantikan partai Sosialis Vietnam yang berhasil diberedel oleh Prancis.  Tahun  1929, partai Sosialis Vietnam melacarkan serangan atas penjajahan Prancis atas bangsanya. 229 anggota partai ditangkap dan sisanya melarikan diri ke Cina mencari perlindungan.

Dengan kekosongan tersebut Ho Chi Minh keluar dengan pengalamannya belajar pada tokoh-tokoh sayap kiri di Prancis. Dan mendirikan Partai Komunis disana pada tahun 1912, bersama sekelompok kawan imigran Aljazair, Senegal, India, dan Asia yang terbuang di kota Mode itu.

Sebelas tahun berselang berangkatlah dia ke Moskow sebagai delegasi menghadiri Kongres Tani Dunia. Selama setahun dia tinggal untuk belajar pergerakan dan propaganda komunis pada pimimpin-pemimpin Soviet, seperti Nikolai Bukharin, Leon Trotsky, dan Joseph Stalin. Disanalah pemikiran Marxisme-Leninisme Ho Chi Minh sudahlah matang.

Bahkan pada tahun 1925, Ho Chi Min dikirim ke Cina untuk membantu pergerakan Komunis disana. Di Cina, Ho Chi Minh mengajak para pemuda pengungsi Vietnam, yang rata-rata adalah para pelarian politik, mendirikan “Perkumpulan Pemuda Revolusioner Vietnam.” Walaupun itu sebebarnya adalah propaganda untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran komunis kepada para kadernya.

Mengutip suatu percakapannya dengan orang Prancis Ho Chi Minh berkata: “Saya tak punya tentara, saya tak punya uang, saya tak punya diplomasi. Saya hanya punya kebencian, dan saya tak akan melucutinya.” Kebenciannya ini bukannya tanpa alasan, karena ledakan kebenciannya pada penjajahan Prancis yang ia dan keluarganya rasakan sengsaranya saat kecil dulu.

Setelah semua pergerakan dan perang gerilya berkepanjangan dengan Prancis, tanggal 2 september 1945, Ho Chi Minh mendeklarasikan kemerdekaan Vietnam dibawah bendara komunis. Kemerdekaan ini tak berlangsung lama karena setelah Prancis pulang, Amerika datang membawa bedil.


Terpecahnya Vietnam menjadi dua bagian, Vietnam Utara yang bergerak ke komunis (dibawah dukungan Uni Soviet dan sekutu) dan Vietnam Selatan yang bergerak ke Kapitalis (dibawah dukungan Amerika Serikat dan sekutu). Membuat perang tak bisa terelakan.

Walaupun dalam prakteknya, perang tersebut adalah gengsi Amerika melawan Uni Soviet. Di mana Vietnam dibantu pasokan persenjataan dan kendaraan perang guna memngimbangi semua gempuran Negara Adi Kuasa. Perang berlangsung 10 tahun dengan Amerika harus menelan kekalahan.

Sampai sekarang Partai Komunis masih menjadi satu-satunya partai yang ada di Vietnam (Negara satu partai.) Ho Chi Minh memang sudah merencanakan bentuk Negara ini sedari dulu, sebagaimana sebagai pegangan gerakan “pembebasan nasional” di Asia Tenggara, bukanlah filosofi rumit tentang meterialisme historis dan ketiadaannya Tuhan (ateisme.)

Selayaknya kembali tidak perlu iri dengan Vietnam. Tidak perlu komunis, tidak perlu sosialis. Namun mungkin itulah sebab persoalan. Walaupun, seharusnya ada yang memberi jawaban, terhadap pertanyaan yang tak mudah dipecahkan.
Semuanya tergantung pada orang Amerika. Jika mereka ingin melakukan perang selama 20 tahun maka kita akan melakukan perang selama 20 tahun. Jika mereka ingin berdamai, kita akan berdamai dan mengundang mereka untuk minum teh sesudahnya. - Ho Chi Minh 





Produser : Ody Mulya Hidayat Sutradara : Fajar Bustomi, Pidi Baiq Penulis : Pidi Baiq, Titien Wattimena Pemeran: Vanesha Pr...




Produser : Ody Mulya Hidayat
Sutradara : Fajar Bustomi, Pidi Baiq
Penulis : Pidi Baiq, Titien Wattimena
Pemeran:
Vanesha Prescilla sebagai Milea
Iqbal Dhiafakhri Ramadhan sebagai Dilan
Zulfa Maharani sebagai Rani
Yuriko Angeline sebagai Watu
Steffi Zamora sebagai Susi
Omar sebagai Pian
Refal Hady sebagai Kang Adi
Giulio Parengkuan sebagai Anhar
Gusti Rayhan sebagai Akew

Debo sebagai Nandan


Ini mungkin akan menjadi review, atau mungkin juga resensi film. Saya akan mencoba untuk tidak spoiler, walaupun itu tidak janji. Heuheuheu.

Awalnya saya ragu untuk menonton film Dilan 1990. Karena takut imajinasi dan ekspetasi saya tentang sosok Dilan hancur setelah menonton filmnya. Ketakutan saya bukanya tanpa alasan. Dimulai dari terpilihnya Ramadhan untuk memerankan Dilan yang menurut saya tidak cocok dalam segala sisi aspek penokohannya. Dalam novelnya sebagian orang mungkin akan berimajinasi kalau sosok Dilan berbadan agak tinggi, trengginas, slengekan, sangar dan sedikit gempal, sangat berbanding terbalik dengan Ramadhan. Lalu lewat trailer filmnyalah yang membuat saya kembali pesimistis untuk menonton film yang diadaptasi langsung dari novel best seller dengan judul yang sama.

Digarap langsung oleh sutradara berpengalaman Fajar Bustomi dan Pidi Baiq yang juga sekaligus penulis novel Dilan, membuat film ini digarap bukan main-main. Bahkan Pidi Baiq sekaligus merangkap menjadi script writer dan ikut membantu para pemain membangun setiap karakter agar seperti dalam novelnya.

Tertampak dengan jelas ditrailer, bahwa sosok Ramadhan terlihat kaku dan kurang percaya diri saat memerankan seorang remaja tahun 1990-an. Lalu kesan bad boy, slengekan dan humorisnya juga tidak begitu ditampilkan. Bahkan saya lebih terkesan oleh parody trailernya ketimbang officialnya, sumpah. Oleh sebab-sebab itulah saya menjadi takut dan ragu untuk menonton Dilan 1990, takut ekspetasi jadi hancur dan uang di dompet kembali harus surut, astagfirullah.

Walaupun saya sendiri percaya, bahwa Dilan dan segala sifat dan wataknya sangatlah sulit terwujud pada siapapun. Bahkan saya rasa Dilan adalah suatu sosok utopis yang fana adanya. Kecuali memang Pidi Baiq lah sosok Dilan yang sebenarnya.

Namun rasa penasaran saya menjadi mendidih ketika film Dilan 1990 hanya dalam empat hari menyedot jumlah penonton sudah menyentuh angka satu juta. Ini pencapaian luar biasa untuk film dalam negeri. Lalu coba saya cari dan baca review film tersebut dikolom komentar instagram, IMDB dan beberapa situs review. Alhasil review positif membanjiri film ini. Seakan memutar balikan stigma saya, bahwa film ini mungkin tidak seburuk dengan apa yang saya sangka dan duga, Allah-Allah.

Rencana awal saya akan menonton pada hari minggu, namun lewat kabar teman yang sudah ada sejak jam sebelas di bioskop, tiket untuk jam satu, tiga, lima dan tujuh sudah ludes terjual, uwuwuwu. Animo penonton sangat tinggi akan Dilan 1990 rasanya cukup mencengangkan. Dengan begitu saya harus mengurungkan niat saya untuk menonton film tersebut di hari minggu, dalam hati saya mengucap syukur uang di dompet tidak jadi mengurang. Alhamdullilah.

Baru dikeesokan harinya, saya berangkat bersama seorang teman, sampai Bioskop sekitar jam empat demi mengejar jadwal nonton jam tujuh, keadaan ruang tunggu dan antrean tiket cukup ramai untuk keadaan bioskop dihari senin, namun yang saya dapati adalah tiket untuk jam tujuhpun sudah sold out. Dalam hati saya uring-uringan sendiri. Alhasil mau tidak mau, kami membeli tiket tersisa untuk jadwal jam sembilan malam. Jam malam nonton film romantis, uwuwuwuwu.

Disini saya akan memulainya mereview peran dan penokohan setiap karakter. Ramadhan agaknya sedikit sukses dalam memerankan sosok Dilan, lewat ekspresi dan pendalaman karakter, kalau rayuannya pada Milea sudah jangan diragukan lagi, Ramadhan sukses besar membuat seisi bioskop luluh lantah.

Namun Ramadhan bukannya juga tanpa celah. Ramadhan disebagian adegan tampak kaku saat berakting. Terlihat dari cara bicara, berjalan dan tertawa. Seperti saat berbicara dengan lawan mainnya, Ramadhan nampak tidak terbiasa mengucapkan bahasa Indonesia baku dan formal yang sudah menjadi khas anak 1990-an.

Selain itu kesan bad boy Dilan rasanya cukup baik dipraktekan oleh Ramadhan, mulai dari emosi, ekspresi marah dan aksi duelnya. Walaupun dalam aksi laganya dengan Anhar diakhir film rasanya masih terlihat kurang natural, terlihat dari koreo laganya yang masih kaku, tampak dibuat-buat dan pengambilan gambar dengan camera yang masih goyang, walaupun seandainya saya lebih setuju jika cukup Milea saja yang goyang, kameranya jangan.

Untuk Milea yang diperankan oleh Vanesha Prescilla menurut saya memang sudah pas dan cocok dalam ekspetasi dan imajinasi saya dari sisi rupa. Bahkan lewat penuturannya Vanesha berucap "Yang paling sulit jadi Milea sih enggak ada, soalnya aku dari awal ditunjuk jadi Milea sama ayah (Pidi Baiq) itu sudah dibilangin, 'Kamu apa adanya aja' karena menurut ayah aku tuh sudah kayak Milea. Tapi tetap aku harus jaga karakternya," jelasnya dilansir dari Liputan6.com.

Namun Vanesha dalam memerankan Milea juga bukanya tanpa celah. Terlihat Vanesha juga sedikit kaku dan agak kurang mengena dari segi akting saat memerankan Milea. Itu tidak bisa dihindarkan, karena mungkin juga ini adalah pertama kalinya dia membintangi peran disebuah film.

Nilai tambahnya adalah Ramadhan dan Vanesha sangatlah mempunyai chemistry yang sangat erat dan terjalin baik sepanjang film. Ini membuat penonton menjadi agak dibuat cemburu dengan kedekatan yang dibangun mereka disepanjang film.

Karena dari sepanjang film hanya peran Dilan dan Milea saja yang menjadi titik fokus dalam film. Membuat pemeran lain seperti Wati, Rani, Piyan, Anhar, Disa dan Kang Adi menjadi tersisihkan, seharusnya pemeran-pemeran tersebut menjadikan film ini lebih lebih kuat dan berwarna seperti dinovelnya. Namun sayang, mereka seakan dipaksakan ada sebagai tercapainya film Dilan 1990 seperti cerita novelnya.

Untuk latar film, untuk mencapai kesan tahun 1990 nampaknya film ini sedikit berhasil membuat penonton nostalgia pada kota Bandung yang masih sepi dan adem, serta color gradnya yang cukup baik. Nampak Jalan Asia-Afrika yang sukses disett seperti keadaan 90-an, dengan dilewati mobil dan motor yang memang ada pada masanya. Selain itu sekolah SMA, rumah Milea dan rumah Dilan rasanya juga cukup untuk memenuhi imajinasi penonton.  Saya rasa Fajar Bustomi wajib berbangga dengan hal ini.

Akan tetapi editing green screen yang kurang halus terlihat saat Bunda (ibunya Dilan) dan Milea mengendarai mobil, dan terlihatlah latar suasana samping kiri dan kanan mobil yang kurang halus dan agak buram.

Secara cerita film ini sudah mewakili novelnya. Terlihat alur cerita yang sangatlah sporadis dan tidak juga memiliki titik klimaks yang dituju. Sebenarnya kekuatan dalam cerita film ini ada pada dua aspek, pertama pada setiap dialog yang isinya rayu dan gombalan Dilan semua sukses membuat penonton perempuan luluh, cair, basah dan cemburu pada sosok Milea. Bahkan rasanya saya mau menimpali setiap gombalan-gombalan Dilan seraya berucap “eaaaa eaaaaa.”

Juga terlintas kemarin saat nonton, ditengah-tengah film tepat didepan saya, satu pasangan duduk dan tiba-tiba si perempuan nyemprot “tuh jadi pacar tuh gitu kaya Dilan.”  Semoga si cowok diberi ketabahan dan kelapangan dada. Aminnn.

Aspek yang kedua adalah, penokohan dan pendalaman kesan setiap karakternya. Nampaknya Pidi Baiq sukses menghadirkan peran Dilan, Milea dan tokoh lainya dalam film Dilan 1990 ini. Kesan Dilan yang slengekan, awur-awuran namun kalem di depan wanita nampaknya berhasil dihadirkan lewat tangan dinginnya. Sedangkan Milea rasanya juga cukup menyatu dengan Vanesha, Pidi baiq cukup berhasil dalam melatih dan membrifing para artis-artisnya agar seperti persis di novel dan kemauannya.

Saya rasa target pemasaran film ini agaknya lebih condong ditunjukan kepada para pembaca novel Dilan, dan orang yang penasaran oleh sosok Dilan yang gombalan-gombalannya tersiar ditrailer film dan meme-meme dilini masa. Dan tentunya para fans dari Ramadhan menjadi senjata manajemen untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Sejatinya memang film ini tidak terlalu menunjukan hal yang melatarbelakangi kenapa bisa Dilan dicap bad boy, suka tawuran dan tentu saja panglima tempur geng montor. Walaupun ada pada scane film saat Milea masuk kamar dilan dan tidak sengaja menatap sebuah quote dari Ronald Reagan “Barang siapa yang ingin berdamai, bersiaplah untuk berperang.”  Agaknya Fajar Bustomi ingin memberi tahu penonton bahwa lewat quote itulah Dilan menjadi sosok remaja yang demikian memberontak. Walaupun saya lebih setuju ketika Dilan lebih seperti Ayatullah Rahullah Khoemini (baca novel Dilan hal: 263.) Karena didalam novel tersebut Dilan lebih terinspirasi oleh Ayatullah Rahullah Khoemini yang notabenenya adalah tokoh revolusi negara Iran.

Salah satu hal yang tidak ditekankan oleh pihak promotor adalah OST (original soundtrack) film Dilan 1990 ini, setidaknya kemarin saya mencatat ada lima lagu yang mengalun dari awal hingga akhir film. Yang pertama adalah: Waktu Kita SMA, kedua: Kamulah Mauku, ketiga: Kau Ahlinya Bagiku dan sisanya saya tidak begitu hafal judulnya. Seharusnya pihak promotor juga ikut mempromosikan OST film Dilan 1990 sama seperti filmnya. Agar OST-nya juga ikut terkenal dan booming.

Walaupun begitu film Dilan 1990 ini sangat bagus untuk ditonton bersama keluarga, pacar, gebetan maupun mantan anda. (jika punya mantan, uppss.) Film ini memang sangatlah ditunjukan kepada para pembacanya, karena secara visual dan cerita film ini pasti akan memenuhi ambisi pembaca akan imajinasi pembaca. Tak ayal anda akan terhibur dengan gombalan dan rayuan yang ada disetiap dialog. Penggambaran romantika anak SMA yang sederhana namun unik akan membuat anda kembali mengenang masa SMA kalian dahulu.

Akan tetapi, sangatlah disayangkan jika film Dilan 1990 nanti dilanjutkan seri keduanya Dilan 1991 masih akan terjebak pada alur cerita yang sama persis dalam novelnya. Bukan karena sudah ketahuan akan ke mana ceritanya, namun setidak berikanlah kami (penonton) sesuatu yang keluar dari buku tersebut, agar juga para artis seolah lebih bisa leluasa dengan peran mereka emban, sehingga tidak terjebak pada sebuah cerita yang sudah pasti adanya.

"Tentang dia yang mengajariku betapa pentingnya mengucapkan selamat tidur" 
 -Milea