“Kota ini, ketika saya ingin menaklukannya, saat itulah saya semakin tenggelam” Sore bulan puasa, saya bertemu kawan lama di sebuah pusa...

Ibu Kota Kesepian



“Kota ini, ketika saya ingin menaklukannya, saat itulah saya semakin tenggelam”


Sore bulan puasa, saya bertemu kawan lama di sebuah pusat perbelanjaan di daerah pinggiran Ibu Kota. Kebetulan waktu sudah memasuki berbuka, kami makan di sebuah outlet makanan franchise di sudut bangunan. Saya tahu betul dia bukan tipe orang yang menyukai tempat makan seperti ini. Akan tetapi demi menyambut kawan jauhnya dia singkirkan idealismenya barang sesaat.


“Kamu tahu, saya paling tidak pernah suka makan di tempat seperti ini, tempat makan ini sangat kapital, makanan dijual mahal dan berbanding terbalik dengan rasanya,” gerutunya yang sudah pasti bisa saya tebak. “Bahkan saya memesan makanan inipun hanya melihat dari nama kerennya saja tanpa tahu rupanya seperti apa, tapi demi kawan jauh sekali-kali tidak mengapa lah,” imbuhnya dengan sedikit senyum.


Kami makan bersama, bertukar kabar, mengingat kenakalan-kenakalan masa lalu, dan mengasihani nasib masing-masing. Teman saya ini hidup, bekerja, sekaligus memaki kota ini. “Jakarta” jauh dari bayangan masa kecilnya, imajinasinya ketika bekerja di Ibu Kota seperti gambaran orang berdasi yang sering dia lihat di sinetron televisi. Sambil melonggarkan kancing bajunya, lalu menyalakan sebatang rokok yang ia hisap dalam-dalam. Impian besarnya saat muda dulu yang sering dia ceritakan kini beralih ke hidup kecil yang serealistis mungkin dapat dia jalani. Saya yang mendengarnya mencoba mebangkitkan sisa-sisa api dihatinya, tapi jawabannya sungguh diluar dugaan saya, “Orang tua saya sudah tersenyum melihat saya saat ini, itu membuat saya merasa cukup,”  jawaban menohok ini diucapkan sangat lirih, dan saya mengangguk untuk yang satu ini.


Cerita lelahnya berlanjut ke hari-hari kerjanya yang sangat berat, kepala divisinya yang rakus, dan kesepianya yang lamat-lamat ikut andil memperpendek umur seperti rokok yang kembali ia sulut. Namun pertanyaan saya, bagaimana dia merasa sendiri di kota yang tidak pernah tidur ini. Bagaimanapun dia sekarang adalah bagian dari Jakarta, yang dengan kalut bangun pagi untuk pergi ke macet satu ke macet lain setiap harinya. Kenapa dia tidak membanggakan bagaimana indahnya taman kota, megahnya Gedung-gedung pecakar langit itu, betapa gagahnya monumen nasional, atau pedagang kaki lima yang lebih banyak dari jumlah pohon yang ada.


Jakarta membuatnya kehilangan gairah hidup yang dapat dia jalani, atau mungkin hampir sebagian penghuninya. Bagaimana ironi kesenjangan kehidupan entah itu di Kampung Melayu, Mester, Menteng, atau Bintaro. Namun potret seperti sudah lumrah ada di kota ini, ketimpangan adalah bahasa baku dan huruf tebal jika sedikit saja meluangkan waktu berputar-putar. Kota ini gemerlap, bising, dan sesak. Tapi kesepian adalah pernyataan membingungkan yang keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa?


“Disini tidak ada kawan, bukan berarti saya asosial, saya sudah membuka diri untuk semua orang yang akan berkawan, namun di Jakarta kamu tidak pernah tahu kawan mana yang akan membunuhmu di kemudian hari” Kecamnya sambal mendengus kesal, baginya berusaha peduli dengan seseorang disini sama saja harus ikut masuk kedalam kompleksnya permasalahan orang tersebut, “Pernah saya coba peduli dengan seseorang kawan yang ketergantungan obat-obatan, akan tetapi sulit menyadarkannya, ternyata selain obat, hutang juga jadi masalahnya, saya jadi bingung harus bagaimana untuk membuka diri,” tambahnya kali ini suaranya lirih. Saya yang mendengarnya ikut terhanyut. Metropolitan tidak hanya bisa merubah nasib, namun juga merubah jiwa penduduk di dalamnya.


Kesepian membuat dia selalu memikirkan kampung halaman di Pulau Madura dimana kawan-kawan dan keluarganya berada. Tempat pulang yang sekarang sangat jauh dari pandangan, dan hanya dengan ingatan kenangan rumah, kawan, dan keramahan masyarakat Madura itu muncul dan menari di pikirannya. “Di Madura tidak ada kemacetan, polusi, ataupun ketakutan-ketakutan lain tentang kehidupan” Saya tak bisa memberikan jawaban apa-apa atas ceritanya, saya biarkan dia bercerita tentang apapun yang  dirasakan selama hidup di kota ini. Sejatinya kawan saya ini adalah orang yang pintar, ulet, dan rajin, namun kini ia kalah, bahkan kekalahan yang dideritanya adalah dari musuh yang ia temui setiap harinya; realitas, yang sekarang menjadi hal yang legowo ia jalani. Namun saya tetap berharap api semangat masa mudanya dulu dapat menyala lagi, meskipun tidak untuk saat ini.


Kota-kota memang selalu memiliki banyak cerita, “Kota-kota, seperti halnya mimpi, terjadi karena Hasrat dan ketakutan,” kata tokoh Marco Polo kepada Kublai Khan dalam kisah masyur Italo Calvino. Ketika mengingat kata-kata itu saya selalu mengingat kawan saya yang saya temui ini. Malam sudah terlalu larut untuk kami berdua, saya diantarnya pulang ke penginapan, kami berpamitan dan berpisah. Saya masuk kedalam kamar, dan sedikit mengemas barang untuk pulang ke kota asal esok hari. Menjalani hidup yang sama seperti kawan saya lakukan, meskipun di kota yang berbeda.

 

 

 


0 komentar: