Tokoh kita kali ini bernama Semar, ia selalu digambarkan sebagai sosok bijaksana, juga selalu muncul di setiap pentas pewayangan den...

Semar Bukan Hanya Sebagai Pengingat




Tokoh kita kali ini bernama Semar, ia selalu digambarkan sebagai sosok bijaksana, juga selalu muncul di setiap pentas pewayangan dengan babak “goro-goro”. Semar adalah salah satu gambaran populer sebagai guru yang memberi wejangan tentang ilmu dan pandangan hidup kepada para murid-muridnya, serta menjadi peran masyarakat biasa disetiap lakon-lakon yang dipentaskan pada wayang jawa.
           
Ada banyak versi bagaimana Semar lahir, salah satu versinya adalah; saat itu Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati. Dari pernikahan itu lahirlah sebuah telur yang bercahaya emas yang menyilaukan, dan entah karena sebab apa telur itupun pecah dengan sendirinya. Telur yang pecah itu terbagi dengan tiga bagian, yang kemudian masing-masing menjelma menjadi anak. Anak yang berubah dari bagian cangkang telur diberi nama Antaga, Anak yang berubah dari bagian putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan dari kuning telur diberi nama Manikmaya.

Ketiga anak inilah yang nantinya menjadi tokoh guna membentuk poros cerita bijak epos Mahabarata. Manikmaya menjadi Bathara Guru yang ditugaskan menjaga kayangan, Antaga menjadi Togog bertugas untuk menasehati para tokoh antagonis Kurawa, sedangkan Ismaya bertugas menjadi pamong untuk para Pandawa.

Tugasnya sebagai pamong sama seperti Prabu Kresna, yaitu menuntun para anak-anak Pandu untuk memberi bimbingan karakter, moral, etika, ataupun bertindak. Tugasnya adalah menasehati, bukan untuk memprovokasi. Seperti halnya Togog di sisi Kurawa, Semar adalah sosok pelurus dari sekian jalan cerita yang absurd.

Semar setidaknya memang digambarkan dengan fisik yang ambigu, jikalau dia laki-laki kenapa dia memiliki payudara, kalaupun perempuan dia memiliki rambut ujung yang menyumbul. Mulutnya dipahat tersenyum, namun kelopak matanya dipoles sedih. Akan tetapi Semar tetaplah Semar. Seorang penasehat kerajaan dengan hidup yang melarat di desa Karang Kedempel, juga seorang rakyat jelata yang dihormati oleh strata ksatria. Bahkan dilakon “Semar Bangun Kayangan” dewa sekelas Bathara Guru sangatlah takut terhadap Semar. Banyak sekali kontradiksi terhadap tokoh kita ini, akan tetapi hal inilah yang membuat Semar menjadi tokoh yang menarik sebagai tritagonis disetiap lakon pewayangan.

Namun suatu pagi tokoh kita yang bijak ini nampak bingung dan gelisah. Petruk yang menyadari kegelisahan bapaknya menanyakan sebabnya. Berceritalah Semar bahwa sebab kegundahannya adalah mencemaskan kerajaan Amarta yang dipimpin Pandawa dirasa gagal untuk membangun dan memerintah sebuah kerajaan. Disinilah beban moral dipikul oleh Semar, sebagai guru Semar menilai dirinya gagal mendidik para Pandawa untuk memimpin suatu Negara.

Diutuslah Petruk untuk pergi ke Amarta untuk bertemu para Pandawa guna meminjam ketiga pusaka milik mereka. Ketiga pusaka itu adalah Jamus Kalimasada, Payung Tunggulnaga dan Tombak Kalawelang. Serta mengundang seluruh Pandawa untuk datang ke Karang Kedempel guna membangun Kayangan.

Sesampainya di Amarta Petruk mengungkapkan kedatangannya kepada para Pandawa yang saat itu sedang berunding dengan Kresna, perihal kegagalannya dalam memerintah. Petruk malah diusir oleh Kresna yang marah-marah, Kresna menilai Semar yang berencana membangun Kayangan sama saja melawan para dewa dengan membangun Kayangan tandingan. Hal ini juga sangat berbanding terbalik dengan tugas Semar yang notabenenya hanya sebagai pendidik para Pandawa. Sehingga bagi Kresna tindakan Semar harus diluruskan.

Petruk meyakinkan Pandawa bahwa tujuan bapaknya baik, oleh karena itu para Pandawa harus mendukungnya. Kengeyelan Petruk membuat Kresna sangatlah marah, sampai menyuruh Petruk untuk keluar dari Amarta.

Singkat cerita Kresna yang muntab pergi ke kayangan bersama Arjuna untuk mengadu dengan Bathara Guru, sedangkan para keempat pandawa yang masih gundah mencoba bersemedi di depan ketiga pusaka atas usul Sadewa. Mereka menyakini ketika bersemedi nanti, jika ketiga pusaka itu tetap berada di posisinya maka Kresna lah yang benar, namun ketika ketiga pusaka itu berpindah tempat maka Semar lah yang benar. Ditengah semedi mereka rupanya ketiga pusaka itu melesat dan berpindah menuju Karang Kedempel ke rumah Semar. Kempat Pandawa yang menyadari hal tersebut juga langsung ikut pergi ke Karang Kedempel, guna membangun Kayangan.

Dalam lakon ini sebenarnya ada kesalahpahaman seorang Kresna dalam menafsirkan kata “Bangun Kayangan” milik Semar. Dalam benak Kresna Bangun Kayangan adalah membangun surga guna menandingi surga yang telah dibuat oleh para dewa. Akan tetapi bagi Semar sendiri Bangun Kayangan sendiri adalah membangun hati. Ia menilai bahwa kegagalan Pandawa memerintah karena mereka sedang jauh dari hati nurani mereka dalam hal memimpin. Kritisnya negeri Amarta dikarenakan para pemimpinya yang sudah tidak merakyat lagi. Para pemimpin yang harusnya mengayomi dan melayani rakyatnya malah tidak lagi melakukan tugasnya.

Hal itu digambarkan saat Petruk datang ke Amarta untuk menyampaikan pendapat bapaknya malah diusir dari istana. Petruk yang sebagai tokoh rakyat jelata diusir oleh bangsa ksatria hanya karena menyampaikan pendapat. Bahkan para ksatria sampai salah menafsirkan dan marah-marah hanya karena mendapat masukan dari rakyatnya.

Dalam lakon ”Semar Bangun Kayangan” seperti menghadirkan nasihat kepada para pemimpin untuk selalu mendengar apa yang diucapkan rakyatnya. Ungkapan latin “Vox populi, vox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan sangatlah kental dalam lakon tersebut. Nyatanya para pujangga jawa tak kalah lihai dalam menciptakan cerita guna mengkritik para pemimpinnya dulu. Bahkan lakon tersebut juga masih relevan sampai sekarang.

Sudah diceritakan, bahwa Semar menyuruh Petruk untuk meminjam tiga pusaka yang sebenarnya memiliki makna filosofis yang sangat dalam untuk para pemimpin. Pusaka Jamus Kalimasada adalah filosofi dari ucapan kedua Syahadat dimana pemimpin harus selalu ingat dan memegang teguh ajaran agamanya. Sedangkan dalam hal melindungi, melayani dan meganyomi diistilahkan dengan pusaka Payung Tunggulnaga, dengan maksud dapat memanyungi rakyat. Tombak Kalawelang sendiri diartikan bahwa pemimpin harus seperti tombak, sebagai pembenar dan menumpas segala bentuk kemurkaan, serta menegakan keadilan.

Walaupun sangat sulit untuk mencari pemimpin yang ideal dalam berbagai hal. Semua tentang kriteria pemimpin bagi kita hanyalah sebuah pengandaian, semua hanya cita-cita. Entah itu semua akan terwujud, atau hanya seperempatnya. Bijaksana, jujur, amanah dan segala hal tentang kesempurnaan itu hanya sebuah idealisme. Nyata tidaknya tergantung apa yang diperbuat dan dilakukan.  

          Bagaimanapun juga lakon “Semar Bangun Kayangan” akan tetap dipentaskan disetiap pewayangan, bukan untuk pengingat, bukan juga untuk melestarikan budaya. Akan tetapi untuk semua rakyat agar tetap menerima, bahwa para pemimpinnya juga orang biasa.

0 komentar: