“Kita hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari”
Saya dan salah satu teman akhirnya sampai di kawasan wisata
Agrowisata Kusuma. Kota Batu sudah memamerkan hawa dinginnya walau waktu masih
menunjukkan pukul dua belas siang. Belum ada kabut, namun gigil sudah kami
rasakan ditengah guyuran sinar matahari. Setelah memakirkan kendaraan, lantas kami
menuju ticket box untuk membeli tiket
masuk Folk Music Festival (FMF) hari pertama; Musik Literasi.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kali ini dalam
penyelenggaraannya yang keempat, FMF mengusung satu tema baru yaitu: Literasi. Tema
baru ini memang adalah suatu entitas yang memang tidak bisa dipisahkan dari
aliran music folk itu sendiri. Berdasarkan
alasan itulah Alex Kowalski sang penggagas FMF menambahkan satu tema besar dalam
festivalnya tahun ini.
Open gate hari
pertama dibuka jam setengah dua siang. Setelah mendapatkan tiket dan bergegas
kedalam venue, kami mendapati diri
kepada kebingungan. Kebingungan pertama adalah tidak adanya arah penunjuk jalan
ke mana kita harus menuju ke venue
acara. Kamipun sampai harus dibimbing oleh salah satu panitia untuk sampai ke venue acara.
Sampai di venue, berdasarkan hitungan jam kami masuk sudah
dalam hitungan telat 10 menit dari rundown. Tapi keadaan masih sepi dan belum
ada tanda-tanda akan dimulainya acara. Peserta yang datang hanya sekitar tujuh
puluh lima orangan, cukup sedikit untuk acara sebesar ini.
Walaupun begitu saya mempunyai keyakinan, bahwa peserta yang datang dihari pertama pasti mempunyai frekuensi pikiran yang sama antar satu sama lain, suka baca buku, suka aliran musik folk, dan pasti orang yang datang di hari pertama ini memiliki rasa keinginan tahuan yang tinggi akan semua hal. Acara baru dimulai sekitar jam dua siang dengan diawali talk show dengan tema diskusi: Sekelebat Festival.
Walaupun begitu saya mempunyai keyakinan, bahwa peserta yang datang dihari pertama pasti mempunyai frekuensi pikiran yang sama antar satu sama lain, suka baca buku, suka aliran musik folk, dan pasti orang yang datang di hari pertama ini memiliki rasa keinginan tahuan yang tinggi akan semua hal. Acara baru dimulai sekitar jam dua siang dengan diawali talk show dengan tema diskusi: Sekelebat Festival.
Sekelebat Festival adalah tema diskusi yang diambil guna
memberikan informasi dan inspirasi kepada para peserta talk show bagaimana cara memulai suatu festival? Apakah sebenarnya
esensi dari sebuah festival? Bagaimana suatu festival bisa bertahan dan
berkelanjutan? Pada kesempatan kali ini Nuran Wibisono jurnalis Tirto.id
didapuk menjadi moderator talk show. Para
panelis yang didatangkan antara lain Ifa Isfansyah selaku Direktur Eksekutif
Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Hardiansyah Putra Siji Sebagai Project
Director Rock In Celebes, dan terakhir Shinta Febriany sebagai Kurator Makasar
Internasional Writers Festival 2018 yang terlambat datang karena pesawatnya
terkena delay.
Kemudian dilanjut dengan talk
show kedua dengan tema: Folk Indonesia Timur. Ditema kedua ini lebih
mendiskusikan tentang bagaimana lagu folk (rakyat) Indonesia timur, khususnya
Ambon didominasi dengan lirik kerinduan akan tanah kelahiran yang diramu dengan
bahasa melayu pasar. Fuad Abdulgani (Antropologi Universitas Lampung), dan M. istiqomah Djamad (Pusakata) didapuk
sebagai narasumber.
Disesi kedua ini sebenarnya lebih banyak mengulas tentang
tulisan Fuad Abdulgani yang berjudul Pulang Aleyo. Didalam tulisan tersebut
Fuad membahas bagaimana kehidupan orang-orang Ambon sebelum Belanda datang,
sampai para orang Ambon dijadikan budak di luar Maluku oleh VOC karena kekuatan
fisik mereka. Sampai akhirnya setelah proklamasi Republik Indonesia orang-orang
Ambon yang mendeklarasikan sebagai Republik Maluku Serikat (RMS) harus diasingkan
ke Belanda oleh bangsa Indonesia.
Karena keadaan jauh dari tanah kelahiran itulah musik rakyat
Ambon sebagian memiliki lirik kerinduan terhadap tanah tumpah-darah mereka. Musik
rakyat yang senantiasa memiliki arti dalam tentang rindu kepulangan akan kampung
halaman.
Beta
berlayar jauh
Jauh dari Ambon e
Di tanah orang . . .
Baru beta menyasal e
Mangapa
beta mau
Buang diri bagini
Jauh dari pangku mama
Sungguh asing lawang e
La
apa tempo beta pulang
Ka Ambon e . . .
Lautan lebar gunung tapele
Mari mama gendong beta
La bawa pulang jua e
Ke tanah yang ku cinta
Ambon manis e . . .
(Beta Berlayar)
Kemudian malam menjelang,
hawa dingin bertambah menggigil. Termometer digital di gawai menunjukkan angka
16 derajat celcius, angin kencang bulan Agustus menambah gigil semakin menjadi-jadi.
Akan tetapi semua hal tersebut tidak menyusutkan semangat para peserta untuk
terus mengikuti rangkaian acara.
FMF berlanjut dengan
Talk Show dengan tema diskusi: Semesta Online Media, yang diundang bukan
sekedar media biasa ataupun media berlabel medioker. Nama besar Vice sebagai media internasional yang
berbasis di Amerika, kemudian Tirto.id media nasional dengan kaya
akan data disetiap artikelnya, BaliBengong
media lokal asal Bali yang menjadi acuan referensi terpercaya berita-berita
yang ada di pulau Dewata.
Diskusi kali ini
membahas bagaimana media berperan sebagai sarana informasi dan edukasi kepada
masyarakat? Bagaimana media bisa terus konsisten? Sumber pendapatan media-media
sekelas vice dan Tirto.id? dan itu semua dipandu dengan pembawaan santai, namun
juga jenaka oleh Felix Dass sebagai moderator.
Diskusi berganti dengan
Penyair Aan Mansyur dan Novelis Mahfud Ikhwan sebagai narasumber. Literasi
Indonesia Timur adalah tema yang mengorek bagaimana cara kedua penulis besar
itu mendapat ide kreatif dalam membuat karya. Inspirasi mereka bermula dari
hal-hal kecil, Aan yang sejak kecil sering berkomunikasi surat puisi dengan
ibunya, dan Mahfud yang masa kecilnya terhipnotis mendengar drama kolosal “Brama
Kumbara” dari siaran radio.
Mereka juga bercerita
bagaimana kebermulaan proses menjadi penulis dari awal hingga sekarang. Aan menceritakan
bahwa ia sosok yang pendiam sejak kecil, dan menulis adalah satu-satunya
medianya dalam bercerita. Sedangkan Mahfud bercerita kebingungannya tentang
kenapa begitu mudahnya kebudayaan India begitu gampang diterima oleh rakyat Indonesia.
Mereka berdua adalah kolaborasi penutup yang apik dirangkaian Talk show FMF
hari pertama.
Giliran Goenawan Maryanto
yang mengambil alih suasana. Dengan membaca beberapa puisinya yang begitu
dalam, pemeran Widji Thukul dalam film istirahatlah kata-kata ini mampu membuat
semua penonton terbius kedalam pembacaan puisinya yang dramatis.
Ditutup dengan dua
penampilan musik yang dibawakan oleh musisi asal Malaysia Fikri Fadzil dan juga
Band Rock asal Yogyakarta yang kini menampilkan formasi akustiknya, sehingga
mengganti nama band mereka dengan sementara menjadi Folkvtlst.
Folkvtlst menjadi
penutup sekaligus nafas lega semua acara di rundown FMF hari pertama. Ilmu yang
didapat sangat banyak dari para panelis dan narasumber yang dihadirkan. Ini membuat
otak menjadi penuh, dan sekaligus kosong. Kesan pada acara ini pasti
berbeda-beda disetiap peserta yang datang, akan tetapi semua pasti merasakan kesenangan
yang cukup untuk hari ini.
Kami bergegas menuju penginapan, sambil menyiapkan diri di hari esok,
Folk Music Festival hari kedua.
0 komentar: