“Aku ingin pulang ke rumahku,Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau,bangun tubuh dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” -Dimas ...

RESENSI NOVEL PULANG: MALPRAKTEK SEJARAH DAN PERZINAHAN POLITIK INDONESIA.




“Aku ingin pulang ke rumahku,Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau,bangun tubuh dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” -Dimas Suryo. Hal: 280.

Salah satu teman dengan menggebu-gebu menyuruh agar saya membaca novel pulang karya Leila S, Chudori ini. Setelah mendengar secara ringkas ceritanya dan melihat beberapa review buku ini di internet. Akhirnya membuat saya penasaran dengan buku keluaran tahun 2012 tersebut.

Untuk menemukan buku ini saya harus mencari dengan memutari rak buku selama 2 jam, dan merepotkan 3 mbak-mbak penjaga toko buku Gramedia untuk membantu saya, walaupun itu sepenuhnya juga bukan salah saya. Karena buku berjudul pulang tersebut tidak ada pada rak buku dengan kode yang sama pada layar komputer pencarian.

Selain itu saya juga salah memberikan contoh cover buku pulang (cover pulang yang berwarna kuning) kepada mbak-mbaknya. Karena saya tidak tahu kalau cover yang terbaru adalah berwarna abu-abu dengan tulisan “pulang” yang disusun acak. Alhasil mbak-mbaknya harus mengelilingi rak dan mencari kesana-kemari dengan pikiran buku judul pulang dengan cover warna kuning, walaupun akhirnya mbaknya dengan nada menyerah berucap.

“maaf mas mungkin bukunya itu sudah ditarik, karena itu buku lama” kata mbak-mbaknya dengan name tag Rina tersebut.

“di komputer saya lihat masih ada 15 stok kok mbak” coba saya keukeuh.

“ohh mungkin itu system kami mas yang belum diperbarui” timpal mbak Rina lagi.

“ealah ya udah mbak kalo gitu” ungkap saya mengalah.

Lalu mbak Rina pergi seraya mengucapkan maaf. Sedangkan saya masih belum percaya bahwa buku tersebut sudah ditarik penerbit, karena jika di komputer pencarian itu masih ada, maka seharusnya di buku tersebut juga masih tersedia. karena semua buku yang masuk di Gramedia ini pasti sudah diinput dalam database, sedangkan kalau buku tersebut sudah tidak ada pasti didalam komputer pencarian menampilkan bahwa buku tersebut stoknya 0. Setidaknya saat itu ilmu IT saya sedikit berguna heuheuheu.

Saya lalu mencoba mencarinya lagi, berpindah dari satu rak kesatu rak yang lain. Dari rak sastra, pindah ke rak sejarah, lalu pindah lagi ke rak kesehatan: yang berisi buku kesehatan ibu hamil. Alhasil saya kembali pada rak sastra-novel. Lalu menemukannya, ternyata buku “pulang” tersebut berada di bagian bawah rak dengan cover terbaru (berwarna abu-abu dengan tulisan “pulang” yang disusun acak) saya cek pengarang dan sinopsis yang ada di bagian belakang, seraya menyakini bahwa ini memang buku yang saya cari. Dalam hati saya mengumpat sebisanya sambil beranjak ke kasir menenteng buku tersebut. Asuu.

***

JUDUL BUKU : Pulang
PENULIS : Leila S. Chudori
HALAMAN : viii + 464 halaman
PENERBIT : Kepustakaan Populer Gramedia
TAHUN TERBIT : Desember 2012

Bisa dibilang ini novel pertama saya yang mengambil latar cerita dari tragedi-tragedi di Indonesia dan Prancis era tahun 1965, 1968, dan1998. Ada tiga tragedi yang menjadi latar belakang cerita novel ini. Pertama adalah tragedi 30 september 1965 pemberontakan PKI Indonesia, kedua revolusi Prancis Mei 1968, dan ketiga reformasi Indonesia Mei 1998.

Saya lebih suka menggolongkan novel pulang ini sebagai novel sejarah, atau sejarah yang disembunyikan. Seperti novel tetralogi pulau buru karya Pramodya Ananta Toer yang mengisahkan bagaimana kebangkitan pemuda Indonesia era sebelum kemerdekaan yang jarang muncul dalam buku sejarah. Sedangkan di novel Pulang, lebih menceritakan tentang cara bertahan hidup para eksil maupun tahanan politik yang dicap sebagai PKI,  dan yang dikira pengikut ideologi kekirian pada saat itu. Keduanya sama-sama novel yang mengajak kita untuk merefleksi sejarah yang ada, dan yang hilang.

Di dalam novel ini menceritakan bagaimana dampak dari kejadian G30S PKI terhadap para keluarga yang memang ikut dalam PKI, Lekra, dan GERWANI. Bahkan yang hanya simpatisan atau memang cuman  berkawan dengan salah satu anggota PKI juga akan diciduk. Seperti diceritakan, semua yang berbau PKI pada saat itu ada yang ditangkap, diinterogasi, ditahan, diculik, atau bahkan dibunuh (dengan peradilan atau bahkan tanpa peradilan). Bahkan kutukan PKI tersebut akan mendarah daging sampai anak-cucu mereka, sehingga ada diskriminasi sosial pada saat itu. Di mana mereka yang masih dianggap sebagai keluarga para komunis, maka pada KTP mereka akan diberi tanda ET (eks tahanan politik), dan sulit mendapatkan pekerjaan.

Namun di novel pulang ini lebih menceritakan bagaimana perjalanan para eksil politik, yaitu Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna. Yang harus berpindah-pindah Negara untuk bertahan hidup dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Keempat tokoh itu dianggap pengikut komunis oleh pemerintah saat itu, sehingga jika mereka pulang ke indonesia risiko terkecil adalah ditahan, risiko terbesarnya bisa dibunuh.


Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf adalah seorang wartawan pada kantor berita Nusantara, yang sejatinya tidak memilih dan mengikuti hal-hal yang berbau komunis. Namun sudah dikategorikan pada saat itu bahwa media atau wartawan yang mengkritik pemerintah, maka akan dikategorikan menjadi musuh oleh pemerintah.

Sebelum kejadian pemberontakan G30S PKI 1965, Dimas Suryo dan Nugroho pergi ke Cile untuk menghadiri konferensi wartawan dunia, menggantikan Hananto Prawiro yang harus mengurus masalah rumah tangganya dengan Surti Anandari, yang juga adalah mantan pacar Dimas Suryo. Sedangkan Risjaf harus menghadiri event yang serupa di Havana.

Setelah meletusnya Pemberontakan tersebut, mereka akhirnya memutuskan untuk berkumpul di Havana sebelum pulang ke Indonesia. Namun karena mereka dianggap simpatisan PKI, paspor mereka dicabut, sehingga mereka tidak bisa pulang.

Sedangkan di Indonesia Hananto Prawiro yang memang simpatisan PKI dan memilih mengikuti ideologi kekirian, walau diceritakan Hananto sendiri tidak pernah mengakui bahwa dirinya ikut PKI, harus main kejar-kejaran dengan aparat. Sampai akhirnya tertangkap pada 1968.

Akhirnya setelah Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna berkumpul. Mereka memutuskan untuk ke Peking (Cina) setelah itu baru mereka memutuskan untuk ke Paris. Disana mereka harus bekerja untuk bertahan hidup, gonta-ganti pekerjaan sudah menjadi kebiasaan. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membuka restoran masakan Indonesia dengan nama “Tanah Air”.

Ditengah-tengah Paris yang saat itu sedang terjadi demontrasi yang dikenal sebagai Revolusi Prancis 1968, Dimas Suryo menemukan tambatan hatinya, seorang wanita Paris yang mempunyai sepasang mata berwarna hijau, dengan rambut tebal, berombak berwarna brunette. Bernama Vivienne Devereaux.

“Benarkah angin tak sedang mencoba menyentuh bibirnya yang begitu sempurna” –Dimas Suryo. Hal: 11.

Dari pernikahan mereka berdua melahirkan seorang gadis bernama Lintang Utara yang selalu bertanya-tanya jati dirinya, dan selalu penasaran tentang apa yang bisa dia petik dari Negara asal bapaknya, Indonesia.

“Bagaimana aku caranya memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A?” – Lintang Utara. Hal: 165.

Dimas Suryo sendiri dalam hatinya selalu memimpikan agar bisa pulang ke Indonesia, dalam hidup ataupun mati. Dia selalu merindukan Indonesia bau tanah setelah hujannya, keluarganya dan tidak ketinggalan wanita pujaannya Surti Anandari. Walau kepulangannya itu sangat tidak diinginkan oleh pemerintah Indonesia.

Novel ini jika ditelaah memiliki dua babak, pertama adalah babak perjuangan Dimas Suryo dalam hidup menjadi eksil politik setelah tragedi G30S PKI. Kedua adalah pencarian jati diri Lintang Utara yang belum ditemukannya dalam kata Indonesia yang mengambil latar tahun reformasi Indonesia 1998. Novel ini memiliki alur maju-mundur sporadis pada setiap babnya yang sangat mudah dimengerti dan nyambung.

Dalam penokohan penulis memberikan setiap tokoh, porsi yang cukup dalam setiap bab yang ada. Sehingga pembaca bisa mengenal para tokoh dengan sangat detail. Seperti salah satu bab khusus membahas full tokoh Hananto Prawiro, Bab lain membahas full Dimas Suryo, bab lain lagi bercerita dari sudut pandang Vivienne Devereaux, dan tidak ketinggalan Bab yang mengambil sudut pandang Lintang Utara. Namun saya agak riskan dengan penggambaran tokoh protagonist dan antagonis yang sangat kontras. Seperti penggambaran rupa tokoh protagonist yang selalu tampan, cantik dan tidak kurang apa-apa. Sedangkan untuk penggambaran rupa peran antagonis, penulis memilih untuk mengambil kata-kata seakan-akan mereka buruk rupa, seperti tokoh interogasi yang berwajah hitam legam dan mesum, intel yang ompong dan digantinya dengan gigi emas.

Kelebihan yang lain adalah referensi penulis yang sangat banyak, selain itu riset yang dilakukan penulis selama 4 tahun membuat cerita ini nyata dan luput dari kehidupan kita. Selain itu pengambilan kutipan beberapa tokoh-tokoh penulis dan judul buku-buku terkenal untuk dijadikan inspirator para tokoh dalam cerita, membuat cerita menjadi semakin kaya dan berisi. Bahkan saya sampai dibuat penasaran dengan tokoh-tokoh dan judul buku-buku yang acap kali muncul dalam dialog ataupun narasi cerita.

Namun kekurangannya adalah gaya bahasa dan pemilihan kata penulis dalam setiap tokoh cerita yang terlihat sama saja, walau dengan sudut pandang tokoh yang berbeda. Sehingga membuat tidak ada ciri khas tersendiri dari salah satu tokoh tersebut, selain itu juga akan sedikit membingungkan pembaca jika tidak teliti membaca setiap bab yang ada.

Terlepas dari semua kekurangannya, Novel pulang ini sangatlah rekomendasi bagi kalian yang ingin melihat dampak dari G30S PKI dari sudut pandang sejarah yang berbeda. Bahwa sebenarnya ada sebuah sejarah yang disembunyikan, yang membuat kita bertanya-tanya, apakah memang itu kejadian sejarah sebenarnya? Buku ini seakan menjadi pembanding sejarah G30S PKI yang ada dan kita amini sampai saat ini. Seakan ingin mengajak pembaca mengungkap apa yang terjadi sebenarnya saat itu. Ada tanda tanya besar dalam sejarah kelam bangsa ini yang belum banyak orang ketahui.

Manakah sejarah yang benar, dan siapa pembuat sejarah yang benar. Sejarah yang dibuat oleh pemerintah orde baru, atau kesaksian sejarah dari mereka yang terzalimi?

“Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat?" - Segara Alam. Hal: 288.


0 komentar: