Produser : Ody Mulya Hidayat Sutradara : Fajar Bustomi, Pidi Baiq Penulis : Pidi Baiq, Titien Wattimena Pemeran: Vanesha Pr...

REVIEW FILM DILAN 1990: SOSOK DILAN YANG SEJATINYA UTOPIS DAN FANA




Produser : Ody Mulya Hidayat
Sutradara : Fajar Bustomi, Pidi Baiq
Penulis : Pidi Baiq, Titien Wattimena
Pemeran:
Vanesha Prescilla sebagai Milea
Iqbal Dhiafakhri Ramadhan sebagai Dilan
Zulfa Maharani sebagai Rani
Yuriko Angeline sebagai Watu
Steffi Zamora sebagai Susi
Omar sebagai Pian
Refal Hady sebagai Kang Adi
Giulio Parengkuan sebagai Anhar
Gusti Rayhan sebagai Akew

Debo sebagai Nandan


Ini mungkin akan menjadi review, atau mungkin juga resensi film. Saya akan mencoba untuk tidak spoiler, walaupun itu tidak janji. Heuheuheu.

Awalnya saya ragu untuk menonton film Dilan 1990. Karena takut imajinasi dan ekspetasi saya tentang sosok Dilan hancur setelah menonton filmnya. Ketakutan saya bukanya tanpa alasan. Dimulai dari terpilihnya Ramadhan untuk memerankan Dilan yang menurut saya tidak cocok dalam segala sisi aspek penokohannya. Dalam novelnya sebagian orang mungkin akan berimajinasi kalau sosok Dilan berbadan agak tinggi, trengginas, slengekan, sangar dan sedikit gempal, sangat berbanding terbalik dengan Ramadhan. Lalu lewat trailer filmnyalah yang membuat saya kembali pesimistis untuk menonton film yang diadaptasi langsung dari novel best seller dengan judul yang sama.

Digarap langsung oleh sutradara berpengalaman Fajar Bustomi dan Pidi Baiq yang juga sekaligus penulis novel Dilan, membuat film ini digarap bukan main-main. Bahkan Pidi Baiq sekaligus merangkap menjadi script writer dan ikut membantu para pemain membangun setiap karakter agar seperti dalam novelnya.

Tertampak dengan jelas ditrailer, bahwa sosok Ramadhan terlihat kaku dan kurang percaya diri saat memerankan seorang remaja tahun 1990-an. Lalu kesan bad boy, slengekan dan humorisnya juga tidak begitu ditampilkan. Bahkan saya lebih terkesan oleh parody trailernya ketimbang officialnya, sumpah. Oleh sebab-sebab itulah saya menjadi takut dan ragu untuk menonton Dilan 1990, takut ekspetasi jadi hancur dan uang di dompet kembali harus surut, astagfirullah.

Walaupun saya sendiri percaya, bahwa Dilan dan segala sifat dan wataknya sangatlah sulit terwujud pada siapapun. Bahkan saya rasa Dilan adalah suatu sosok utopis yang fana adanya. Kecuali memang Pidi Baiq lah sosok Dilan yang sebenarnya.

Namun rasa penasaran saya menjadi mendidih ketika film Dilan 1990 hanya dalam empat hari menyedot jumlah penonton sudah menyentuh angka satu juta. Ini pencapaian luar biasa untuk film dalam negeri. Lalu coba saya cari dan baca review film tersebut dikolom komentar instagram, IMDB dan beberapa situs review. Alhasil review positif membanjiri film ini. Seakan memutar balikan stigma saya, bahwa film ini mungkin tidak seburuk dengan apa yang saya sangka dan duga, Allah-Allah.

Rencana awal saya akan menonton pada hari minggu, namun lewat kabar teman yang sudah ada sejak jam sebelas di bioskop, tiket untuk jam satu, tiga, lima dan tujuh sudah ludes terjual, uwuwuwu. Animo penonton sangat tinggi akan Dilan 1990 rasanya cukup mencengangkan. Dengan begitu saya harus mengurungkan niat saya untuk menonton film tersebut di hari minggu, dalam hati saya mengucap syukur uang di dompet tidak jadi mengurang. Alhamdullilah.

Baru dikeesokan harinya, saya berangkat bersama seorang teman, sampai Bioskop sekitar jam empat demi mengejar jadwal nonton jam tujuh, keadaan ruang tunggu dan antrean tiket cukup ramai untuk keadaan bioskop dihari senin, namun yang saya dapati adalah tiket untuk jam tujuhpun sudah sold out. Dalam hati saya uring-uringan sendiri. Alhasil mau tidak mau, kami membeli tiket tersisa untuk jadwal jam sembilan malam. Jam malam nonton film romantis, uwuwuwuwu.

Disini saya akan memulainya mereview peran dan penokohan setiap karakter. Ramadhan agaknya sedikit sukses dalam memerankan sosok Dilan, lewat ekspresi dan pendalaman karakter, kalau rayuannya pada Milea sudah jangan diragukan lagi, Ramadhan sukses besar membuat seisi bioskop luluh lantah.

Namun Ramadhan bukannya juga tanpa celah. Ramadhan disebagian adegan tampak kaku saat berakting. Terlihat dari cara bicara, berjalan dan tertawa. Seperti saat berbicara dengan lawan mainnya, Ramadhan nampak tidak terbiasa mengucapkan bahasa Indonesia baku dan formal yang sudah menjadi khas anak 1990-an.

Selain itu kesan bad boy Dilan rasanya cukup baik dipraktekan oleh Ramadhan, mulai dari emosi, ekspresi marah dan aksi duelnya. Walaupun dalam aksi laganya dengan Anhar diakhir film rasanya masih terlihat kurang natural, terlihat dari koreo laganya yang masih kaku, tampak dibuat-buat dan pengambilan gambar dengan camera yang masih goyang, walaupun seandainya saya lebih setuju jika cukup Milea saja yang goyang, kameranya jangan.

Untuk Milea yang diperankan oleh Vanesha Prescilla menurut saya memang sudah pas dan cocok dalam ekspetasi dan imajinasi saya dari sisi rupa. Bahkan lewat penuturannya Vanesha berucap "Yang paling sulit jadi Milea sih enggak ada, soalnya aku dari awal ditunjuk jadi Milea sama ayah (Pidi Baiq) itu sudah dibilangin, 'Kamu apa adanya aja' karena menurut ayah aku tuh sudah kayak Milea. Tapi tetap aku harus jaga karakternya," jelasnya dilansir dari Liputan6.com.

Namun Vanesha dalam memerankan Milea juga bukanya tanpa celah. Terlihat Vanesha juga sedikit kaku dan agak kurang mengena dari segi akting saat memerankan Milea. Itu tidak bisa dihindarkan, karena mungkin juga ini adalah pertama kalinya dia membintangi peran disebuah film.

Nilai tambahnya adalah Ramadhan dan Vanesha sangatlah mempunyai chemistry yang sangat erat dan terjalin baik sepanjang film. Ini membuat penonton menjadi agak dibuat cemburu dengan kedekatan yang dibangun mereka disepanjang film.

Karena dari sepanjang film hanya peran Dilan dan Milea saja yang menjadi titik fokus dalam film. Membuat pemeran lain seperti Wati, Rani, Piyan, Anhar, Disa dan Kang Adi menjadi tersisihkan, seharusnya pemeran-pemeran tersebut menjadikan film ini lebih lebih kuat dan berwarna seperti dinovelnya. Namun sayang, mereka seakan dipaksakan ada sebagai tercapainya film Dilan 1990 seperti cerita novelnya.

Untuk latar film, untuk mencapai kesan tahun 1990 nampaknya film ini sedikit berhasil membuat penonton nostalgia pada kota Bandung yang masih sepi dan adem, serta color gradnya yang cukup baik. Nampak Jalan Asia-Afrika yang sukses disett seperti keadaan 90-an, dengan dilewati mobil dan motor yang memang ada pada masanya. Selain itu sekolah SMA, rumah Milea dan rumah Dilan rasanya juga cukup untuk memenuhi imajinasi penonton.  Saya rasa Fajar Bustomi wajib berbangga dengan hal ini.

Akan tetapi editing green screen yang kurang halus terlihat saat Bunda (ibunya Dilan) dan Milea mengendarai mobil, dan terlihatlah latar suasana samping kiri dan kanan mobil yang kurang halus dan agak buram.

Secara cerita film ini sudah mewakili novelnya. Terlihat alur cerita yang sangatlah sporadis dan tidak juga memiliki titik klimaks yang dituju. Sebenarnya kekuatan dalam cerita film ini ada pada dua aspek, pertama pada setiap dialog yang isinya rayu dan gombalan Dilan semua sukses membuat penonton perempuan luluh, cair, basah dan cemburu pada sosok Milea. Bahkan rasanya saya mau menimpali setiap gombalan-gombalan Dilan seraya berucap “eaaaa eaaaaa.”

Juga terlintas kemarin saat nonton, ditengah-tengah film tepat didepan saya, satu pasangan duduk dan tiba-tiba si perempuan nyemprot “tuh jadi pacar tuh gitu kaya Dilan.”  Semoga si cowok diberi ketabahan dan kelapangan dada. Aminnn.

Aspek yang kedua adalah, penokohan dan pendalaman kesan setiap karakternya. Nampaknya Pidi Baiq sukses menghadirkan peran Dilan, Milea dan tokoh lainya dalam film Dilan 1990 ini. Kesan Dilan yang slengekan, awur-awuran namun kalem di depan wanita nampaknya berhasil dihadirkan lewat tangan dinginnya. Sedangkan Milea rasanya juga cukup menyatu dengan Vanesha, Pidi baiq cukup berhasil dalam melatih dan membrifing para artis-artisnya agar seperti persis di novel dan kemauannya.

Saya rasa target pemasaran film ini agaknya lebih condong ditunjukan kepada para pembaca novel Dilan, dan orang yang penasaran oleh sosok Dilan yang gombalan-gombalannya tersiar ditrailer film dan meme-meme dilini masa. Dan tentunya para fans dari Ramadhan menjadi senjata manajemen untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Sejatinya memang film ini tidak terlalu menunjukan hal yang melatarbelakangi kenapa bisa Dilan dicap bad boy, suka tawuran dan tentu saja panglima tempur geng montor. Walaupun ada pada scane film saat Milea masuk kamar dilan dan tidak sengaja menatap sebuah quote dari Ronald Reagan “Barang siapa yang ingin berdamai, bersiaplah untuk berperang.”  Agaknya Fajar Bustomi ingin memberi tahu penonton bahwa lewat quote itulah Dilan menjadi sosok remaja yang demikian memberontak. Walaupun saya lebih setuju ketika Dilan lebih seperti Ayatullah Rahullah Khoemini (baca novel Dilan hal: 263.) Karena didalam novel tersebut Dilan lebih terinspirasi oleh Ayatullah Rahullah Khoemini yang notabenenya adalah tokoh revolusi negara Iran.

Salah satu hal yang tidak ditekankan oleh pihak promotor adalah OST (original soundtrack) film Dilan 1990 ini, setidaknya kemarin saya mencatat ada lima lagu yang mengalun dari awal hingga akhir film. Yang pertama adalah: Waktu Kita SMA, kedua: Kamulah Mauku, ketiga: Kau Ahlinya Bagiku dan sisanya saya tidak begitu hafal judulnya. Seharusnya pihak promotor juga ikut mempromosikan OST film Dilan 1990 sama seperti filmnya. Agar OST-nya juga ikut terkenal dan booming.

Walaupun begitu film Dilan 1990 ini sangat bagus untuk ditonton bersama keluarga, pacar, gebetan maupun mantan anda. (jika punya mantan, uppss.) Film ini memang sangatlah ditunjukan kepada para pembacanya, karena secara visual dan cerita film ini pasti akan memenuhi ambisi pembaca akan imajinasi pembaca. Tak ayal anda akan terhibur dengan gombalan dan rayuan yang ada disetiap dialog. Penggambaran romantika anak SMA yang sederhana namun unik akan membuat anda kembali mengenang masa SMA kalian dahulu.

Akan tetapi, sangatlah disayangkan jika film Dilan 1990 nanti dilanjutkan seri keduanya Dilan 1991 masih akan terjebak pada alur cerita yang sama persis dalam novelnya. Bukan karena sudah ketahuan akan ke mana ceritanya, namun setidak berikanlah kami (penonton) sesuatu yang keluar dari buku tersebut, agar juga para artis seolah lebih bisa leluasa dengan peran mereka emban, sehingga tidak terjebak pada sebuah cerita yang sudah pasti adanya.

"Tentang dia yang mengajariku betapa pentingnya mengucapkan selamat tidur" 
 -Milea












0 komentar: