Aku kurang mengerti tentang memahami perasaan, kalaupun aku bisa lantas mau apa? Bukankah lebih baik diam saja dan bertingkah sedia kala...

AKU GAGAL MEMAHAMI KAU


Aku kurang mengerti tentang memahami perasaan, kalaupun aku bisa lantas mau apa? Bukankah lebih baik diam saja dan bertingkah sedia kala? Bagi ku itu lebih bijak dilakukan. Pernah rasanya menjadi orang yang pendiam, namun hati meronta memaksa paham dengan rasa. Kegundahan, picisan, benci dan isi hati mereka rasanya dengan diam pun aku mengerti. Mengapa coba kau sembunyikan? Bukankah kau orang yang tak pandai menyembunyikan kegelisahan hatimu? Ayolah selain hatimu sendiri, ada hal lain yang lagi-lagi kau bohongi.

Rasanya aku tidak perlu cerita, percuma. Dulu pernah aku menguntit semua isi harimu, bertanya dengan orang yang ku kenal dan berjalan diam-diam di belakang mu. Sebetulnya itu tidak baik dilakukan, akan tetapi untuk memahamimu aku harus melakukan apa selain begini? Terang-terangan? Gila saja! Kau kira, aku cukup berani muncul tiba-tiba dihadapanmu. Keberanian ku belum cukup, jangankan menyapa, melirik saja mata terpaksa malu. Ayolah raga harusnya kau mendukung kemauan hatimu, jangan malah sebaliknya. Bukankah kita harus selalu percaya dengan kata hati? Namun entah mengapa selalu kalah dengan percaya diri.

 Andaikan waktu itu, saat selagi kau berdiri menunggu diambang pintu sambil menatap langit yang menurunkan air berkahnya. Waktu itu aku tatap kau dari jarak amanku, memperhatikanmu tak perlu terlihat bagiku. Namun hati lagi-lagi memaksa lebih dekat, berkenalan? Gila saja! Kau kira segampang itu? Lagi-lagi hati mengambil alih, dan kaki seakan melenggang dengan sendiri menghampiri. Dekat-mendekat dan sampai disamping mu, gadis penunggu hujan.

Ada bisu lama, sangat lama, bahkan dua menit di sampingnya bagai 2 jam dirasa. Canggung? Oh tentu tidak. Mungkin hanya bingung memulai dari mana. Haruskah mulai dengan bercakap tak perlu? Lagian  tetapi aku tipe orang yang tak suka berbasa-basi. Namun rasanya aku juga tak perlu memulai semua dengan berkata. Bahkan dengan diam disampingnya aku sudah bisa merasakan perasaannya. Memakna raut wajah sendunya, menatap mata sayunya dan menangkap gestur tubuhnya aku sudah bisa menerka isi hati dan kemauannya. Jangan salah sangka aku bukanlah peramal ataupun dukun. Mungkin ini semua memang murni urusan hati, jika kita berada didekat orang yang kita kagumi lalu memperhatikannya dengan teliti pasti kalian semua akan mengerti perasaan ku saat ini.

***

Hujan turun deras, air dari langit itu jatuh teratur membentur tanah, bunyi suara dan bau khas tanah ketika hujan menambah suasana menjadi pulam. Seorang gadis merengut cemas menunggu hujan dengan mendekap tangan niat melawan gigil. Sedang disampingnya ada laki-laki yang diam menyembunyikan maksud niat sapa kenalnya tercekat di tenggorokan. Hujan mengambil alih suasana dengan suara untuk mengisi hening diantara mereka. Bahkan tanah sampai tertawa, bagaimana bisa ada dua orang penunggu hujan yang berdiam-diam tak mengucap kata. Kalian harusnya bisa berkenalan, saling berjabat tangan, bertukar nama masing-masing dan pembicaraan pasti akan mengalir begitu saja. Namun kenapa kalian berdua tidak begitu? Ayolah sudah terlalu banyak tanda tanya diantara hening kalian berdua. Bahkan saya sampai jengkel. Begitukah Bengal si laki-laki untuk menyapa duluan? Padahal  gadis itu sebenarnya dalam hati juga ingin disapa, tapi ya gitu, masak perempuan yang mulai duluan? Dasar gengsi selalu menjadi penghalang nomor satu jika sudah bersangkut-paut dengan hati.

***

Langit masih berhias hitam pekat, hujan belum ada tanda-tanda niat akan berhenti dan kami berdua belum memulai sebuah sapa. Kendati demikian cukup disampingnya aku paham, kau sedang gelisah entah karena apa. Sedari tadi kau sibuk membuka isi handphonemu, ada yang kau tunggu atau mungkin ada yang sedang kau kejar, entahlah kegelisahanmu itu karena apa? Inginku bertanya, namun lagi kutahan itu semua.

Bahasa tubuhmu meminta agar hujan reda, terlihat dengan sejanak kau mendongak ke atas lalu mendongak lagi cemas memohon hujan henti, namun langit tak mengamini pintamu. Kenapa kau gusar? Mungkinkah ada aku disampingmu, orang asing yang berdiri disebelahmu ini apakah menakutimu?  Iya mungkin. Aih ternyata mungkin aku penyebabnya, maaf-maaf aku telat menyadarinya. Baiklah mungkin aku harus pergi dari sampingmu.

Melangkahlah kaki ku keluar diantara deraasnya hujan, ah bodoh! Kenapa aku malah hujan-hujan. Bukankah ini adalah hal yang bodoh dilakukan di hadapanya. Lagi kelewat tanggung, terlanjur basah mau dikata apa lagi, dengan menyesali tindakan diri, aku lari ditengah hujan yang dengan cepat membuat baju hitam ku basah kuyup. Namun dari belakang ada suara depakan kaki, ada yang membututi ku, dan anehnya ikut juga berlari ditengah hujan seperti ku sambil membawa payung warna merah jambu, namun ternyata itu bukan kau.


0 komentar: