Memang berbahaya manusia yang berusaha mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi bila kita merasa telah mendapatkan kebenaran itu sendiri.
Jika kita Tarik kebelakang cerita Columbus berlayar dari
Spanyol ke barat dan menemukan Benua Amerika. Lalu apa yang sebenarnya yang ia
cari? Sebelumnya dia meminta kepada Raja Spanyol dua hal atas penemuannya nanti:
kehormatan dan kekayaan. Namun semua bingung apa sebenarnya yang akan dia temukan dan buktikan dalam
pelayaranya nanti. Tapi Columbus memang sangat yakin dalam perjalannya akan
menemukan hal baru dan kebenaran yang selalu ditangguhkan. Ia mungkin agak
terpengaruhi dan hampir percaya setelah membaca tulisan Marco Polo tentang
perjalanan menuju ke timur (hindia) dan tentang “ Bumi itu bulat” yang ada
dalam kitab agama.
Memang Columbus hidup pada abad ke-15 di Eropa. Ia tidak
yakin tentang ajaran yang disponsori kalangan agama waktu itu, bahwa bentuk
bumi adalah seperti piring, bukan seperti bola. Walaupun sebenarnya Columbus
tidak berniat murtad. Ia justru orang yang selalu inggin membuktikan kebenaran.
Mungkin dalam pelayarannya, ia nantinya akan mendapatkan jawaban sesungguhnya
bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan. Dengan begitu Columbus bukan
orang yang skeptis, ia orang yang percaya.
Namun ternyata dalam layarnya ke barat. Laut yang memisahkan
“ujung barat” laut Negara Spanyol dengan “ujung timur” (saat itu Hindia)
ternyata tidak sempit. Benua yang dia temukan rupanya bukan ujung timur, namun
daratan baru. Mungkin benar bahwa sejarah memang dipenuhi oleh
penemuan-penemuan yang separuhnya benar, atau sepenuhnya salah. “tak bisa
dibayangkan Columbus semangat menantang maut dalam membuktikan bahwa bumi itu
bulat. Seandainya bukan kesalahan bahwa bumi itu hanya seperti pinggiran
piring, mungkin daratan Amerika itu tidak ditemukannya. Dan seandainya tokoh
terkemuka saat itu tidak menjadikan bumi datar sebagai kebenaran ilahi.”
Kalimat tanda kutip itu merupakan bagian dari sebuah
pendapat. Bahwa kesalahan, bukannya “kebenaran” yang menjadi sendi perjalanan
hidup kita.
Ahli pikir ilmu pengetahuan, Kalr R Popper berkata “aku akan
memperkenalkan pengetahuanku yang secuil ini agar yang lebih baik dari aku
dapat mengkaji kebenaran, dan dengan demikian membuktikan serta mencari
kesalahanku. Dan dalam hal ini aku akan berbahagia bahwa aku toh masih tetap
salah satu alat yeng memungkinkan kebenaran muncul.”
Kalr R Popper menggaris bawahi lagi bahwa manusia itu
bersifat salah. Karena manusia paling cuman
mampu menampilkan dugaan-dugaan. Terhadap suatu perkara berdasarkan keterbatasan
pengetahuannya saja. Dugaan itu hanyalah sebuah dugaan bukanlah kebenaran
ataupun kepastian. “di atas dugaan-dugaan inilah hidup kita berjalan, di atas
kesalahan dan kekeliruannya lah hidup kita berubah.”
Maka, dugaan ini tidak akan berarti kalau disimpulkan dengan
kepastian ataupun kebenaran. Artinya dugaan sengaja dibelokan agar tidak
langsung disimpulkan menjadi sebuah hal yang salah. Dengan demikian pernyataan
semakin baik dan berarti kalau semakin menyediakan lebih banyak kesempatan
untuk disalahkan, untuk ditolak.
Dalam sophisme seseorang mengatakan bahwa “Tidak ada
kebenaran.” Padahal dalam pernyataan “Kebenaran” mungkin seperti ini: kita
hidup bukan untuk merumuskan suatu pernyataan yang salah. Manusia hakikatnya
selalu mencari kebenaran. Hanya ia harus selalu bersedia dengan pengakuan,
bahwa yang ia capai tak akan pernah bulat.
Mungkin juga seperti kata-kata seseorang yang bijak: ”memang
berbahaya manusia berusaha mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi bila
kita merasa telah mendapatkan kebenaran itu sendiri.” Karena kebenaran itu
dalah hal yang relatif.
Maka begitu malangnya manusia yang ingin agar ucapan,
dugaan dan pernyataannya diterima
sebagai kebenaran dan kepastian yang tak tergugat. Toh Columbus yang berencana ke hindia, ternyata malah menemukan
Amerika.
0 komentar: