Dihari pertamanya bekerja, dia
sangat gugup dan dadanya berdebar bukan main. Kali ini pekerjaannya hanyalah
sebagai pendamping, bukan jadi pemimpin pasukan lagi. Akan tetapi atasannya
bukan orang sembarangan. Bahkan saat itu, jika ada orang yang mendengar nama
atasanya, maka sebesar apapun nyali orang pasti akan takut. Sebagai ajudan
baru, Soerjadi hanya mendapat pesan dari ajudan sebelumnya bahwa “Bapak hanya ingin dengar kabar yang
baik-baik saja”.
Nasihat yang sulit untuk dikerjakan
dengan takzim memang. Dengan pergolakan peristiwa dan kondisi tahun 1981, adalah
hal yang sulit jika hanya mengabarkan tentang kondisi yang adem-ayem.
Walau situasi aslinya Indonesia diluar dari keadaan tentram. Namun Soerjadi
tahu pekerjaan barunya lebih sulit daripada membariskan rapi satu pleton
pasukan, karena Presiden kita saat itu selain takut akan kehilangan kekuasaan,
juga takut mendengar kabar buruk. Soerjadi harus pandai menutupi, setidaknya
dia mulai belajar menggunakan bahasa dengan penyampaian yang enak didengar.
Ketika pertama kali satu mobil
dengan atasannya, Soerjadi duduk di samping sopir. Sedangkan Soeharto duduk di
kursi belakang sambil menghisap pipa cerutunya. Mobil mengarah ke Jalan Cendana
Jakarta, pulang ke rumah Presiden. Belum ada perkenalan dan percakapan, hanya
suara gending dan gamelan jawa yang mengisi kecanggungan terlantun dari radio
mobil.
Setelah mengumpulkan keberanian,
Soerjadi mencoba memulai percakapan lebih dahulu. Dipikirannya hanya takut
suatu saat akan mengabarkan hal buruk, jadi dia memohon diri terlebih dahulu.“Mohon maaf pak” katanya dengan santun.
Yang diajaknya bicara hanya berdeham dengan suara berat. “Mohon izin, mungkin
suatu saat nanti saya memberi laporan yang kurang berkenan bagi Bapak” katanya
berhati-hati.
Soerjadi menuntaskan
kegelisahannya, namun bukannya lega Soerjadi semakin gelisah karena menunggu
jawaban atas pernyataannya. Di belakang Soeharto menghisap cerutunya
dalam-dalam dan whus! Sang Presiden
menghembuskan asap cerutunya tepat mengenai tengkuk Soerjadi. Soerjadi kaget
sekaligus merinding ketakutan. Itulah pertama kali dia mencium bau asap cerutu,
dan tidak ada pembicaraan lagi selama perjalanan. Berselang waktu Soeharto
memecah kebisuan, “Soer disini tempatnya belajar” ucap Soeharto. Soerjadi hanya
bisa mengangguk.
Itu hanya sepenggal cerita saat
Letkol Soerjadi menjadi ajudan Presiden Soeharto tahun 1981-1986. Dia dipilih
dan tidak menolak tugas, atau lebih tepatnya nasib. Di periodenya menjabat
sebagai ajudan, banyak peristiwa penting
yang dilaluinya bersama Soeharto, salah satunya adalah peristiwa Tanjung Priok.
Sejarah kelam warisan Soeharto yang masih menimbulkan kontradiksi hingga saat
ini, para pelakunya bebas. Keluarga korban menuntut keadilan, namun keadilan
tidak kunjung datang.
***
Poster bertuliskan “Agar Wanita
Memakai Pakaian Jilbab” tertempel di Musala As-Sa’adah, Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Anjuran yang biasa-biasa saja, akan tetapi pada 14 September 1984 poster
tersebut menciptakan tragedi yang menyedihkan.
Pergolakan politik tentang asas
tunggal Pancasila yang saat itu diutarakan pemerintahan Soeharto ditentang oleh
beberapa muslim. Hingga suatu pagi anjuran agar dicopotnya poster itu dari
Musala tidak digubris warga. Warga
menilai tidak ada yang salah dari poster tersebut, sehingga tidak perlu
dicopot. Hingga salah satu Babinsa, Sersan Satu Hermanu menghapus poster tersebut
dengan koran yang dibasahi air got. Terdengar kabar bahwa Hernamu menjalankan
aksinya tanpa menanggalkan sepatu larasnya. Musala itu kotor. Warga yang muntab
mendengar kabar tersebut marah dan ingin menghajar, Hernamu dilindungi salah
satu tokoh setempat, warga yang kepalang geram hanya bisa membakar sepeda motor
Babinsa itu. Alhasil beberapa yang ditengarai pelaku pembakaran diamankan
Tentara di Kodim. Mereka mengamankan empat orang pemuda.
Warga menuntut agar keempat
pemuda segera dibebaskan, termasuk tokoh masyarakat Amir Biki juga ikut dalam
kerumunan, masa protes dengan memenuhi Jalan Sindang Raya, Tanjung Priok. Para
tokoh berunding dengan pimpinan Kodim. Selain menolak asas tunggal yang
digalang pemerintah, mereka juga menuntut agar pemuda yang ditangkap segera
dibebaskan paling lambat pukul sebelas malam. Negosiasi gagal, tuntutan tidak
dipenuhi, aksi masa kembali berlanjut.
Masa merangsak lebih dekat ke
kantor Kodim, suara tembakan meletus. Peluru senjata semi otomatis merubuhkan
para demonstran. Malam itu berubah menjadi kelam, sangat kelam dan berdarah.
700 korban tewas tercatat hari itu. Akan tetapi pemerintah hanya menghitung 28
korban saja. Kasus yang tidak pernah tersentuh selama pemerintahan Soeharto,
bahkan tidak ada yang berani mengungkitnya. Apakah peristiwa malam itu terdengar
Soeharto di Istana? Sungguh hanya Soerjadi dan Tuhan yang tahu.
***
Peristiwa lainnya yang dilaluinya
bersama Soeharto adalah Pembajakan pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia.
Lebih dikenal dengan Peristiwa Woyla. Pesawat bertujuan Medan ini dibajak lima
orang teroris mengatasnamakan “Komando Jihad”. Alhasil pesawat dibawa pembajak
sampai Bandara Don Mueang, Bangkok. 57 penumpang dirundung ketakutan, 5 teroris
membawa pistol dan granat. 65 jam dalam pesawat yang dibajak adalah siksaan
badan dan trauma batin para korban.
Soerjadi saat itu menjadi
penghubung antara Presiden Soeharto dengan tim penyelamat sandera yang dipimpin
oleh Jendral Yoga Sugomo dan Letjen Benny Moerdani. Menjelang petang tim
Kopassandha (saat ini Kopasus) siap untuk melakukan misi penyelamatan dengan
masuk ke dalam pesawat. Yoga menghubungi Istana, meminta saran tentang misi
penyelamatan “Kita mau nyerang, mohon petunjuk Bapak (Soeharto), jam berapa
baiknya?” pesan itu diterima Soerjadi dan langsung menghadap ke Soeharto yang
saat itu sedang membaca koran di ruang kerjanya. “Wis, Benny wis ngerti” jawab
Soeharto setelah Soerjadi menyempaikan pesan. Soerjadi bingung, tapi tidak
berani menanyakan ulang maksud jawaban Presiden. Dengan berbekal jawaban
singkat dia kembali melapor ke Yoga.
“Lapor Pak” kata Soerjadi.
“Apa Dhawuhe Bapak?” tanya Yoga.
“Bapak tidak bicara apa-apa,
Katanya Benny wis ngerti” kata Soerjadi.
“Opo maksude?” Yoga yang bingung
bertanya lagi.
“Saya juga ngga tahu pak” jawab Soejadi.
Pukul tiga dini hari misi
pembebasan sandera berhasil dilaksanakan, seluruh penumpang selamat. 5 teroris
berhasil dilumpuhkan, pilot, asisten pilot, dan satu orang tentara penyelamat
gugur saat misi berlangsung. Jendral Yoga melapor ke Soerjadi. Membawa kabar
baik Soerjadi memberanikan diri mengetuk pintu kamar Presiden pada pagi buta.
Dari dalam kamar Ibu Tien menjawab dengan nada setengah teriak. “Ono opo
bengi-bengi bapake kok ditangek-ke” jawab Ibu Tien sembari membuka pintu kamar.
Dari dalam Soeharto menyusul ke pintu kamar. Soerjadi langsung melapor “Lapor
pak, misi penyelamatan sudah selesai” belum sampai melanjutkan lebih detail
laporanya, Soeharto langsung menjawab singkat, “Yo wis” dan pintu kamar kembali
ditutup. Soerjadi bingung, dan langsung paham.
Seharusnya dia menunggu sampai Presiden
bangun dari tidur. Memang apapun baik dan buruk kabar yang dibawanya, Soerjadi
harus bisa memilih waktu dan bahasa yang pas didengar telinga presiden. Karena
dia mengalami sendiri bahwa Presiden Soeharto; takut mendengar kabar buruk, apa
lagi mendengar kabar buruk tentang putra bungsunya. Karena jika Soeharto
bertanya di mana dan sedang apa Tommy Soeharto. Soerjadi harus tahu dan siap dengan
jawaban bahwa si bungsu sedang baik-baik saja.
Soerjadi adalah penyampai pesan,
berbeda dengan Jibril. Soerjadi hanya pemberi kabar baik, berbeda dengan Wiji
Thukul. Soerjadi hanya pelaksana tugas, dibatinnya timbul pertanyaan. Soeharto
yang ditakutkan oleh semua orang adalah pribadi yang dirundung kecemasan. Jangan
ada kabar buruk, beruntung pada saat itu informasi sangat terbatas. Kabar hoax belum sebanyak sekarang, bagaimana
jika saat itu kabar bohong berserakan seperti saat ini? Sungguh daripada
Soeharto, Soerjadi pasti jauh lebih takut.
0 komentar: