Sekitar pukul sebelas malam kemarin (26/11) tersebar sebuah video
tentang anjuran jangan mempercayai berita hoax dari menteri komunikasi dan
informasi badan eksekutif mahasiswa (BEM) Universitas Trunojoyo Madura (UTM).
Memang tidak ada yang salah dari ucapan beliau, seperti “mantan saja bisa
dicuekin masa berita hoax tidak” Namun publik UTM yang punya mantan ataupun
yang tidak punya mantan dibuat bingung oleh pernyataan beliau.“berita hoax?
Emang ada berita hoax yang tersebar ya sekarang?”.
Memang di UTM sedang memanas karena pesta politik pemilihan presiden
mahasiswa dan wakilnya.Kampus yang digadang-gadang menjadi miniatur sebuah
Negara. Akan tetapi publik UTM agak tidak peduli dengan pemilu ini, salah satu
kawan, saya tanya tentang hal tersebut menjawab “Ah persetan dengan pemilu ini,
presma atau wapresma aku tidak peduli, yang penting besok saya kuliah,
praktikum dan dapat ipk tiga.” Jika ditelaah jawabannya memang tidak sepenuhnya
salah, karena tahu atau tidak, dan memilih atau tidak, serta siapapun kandidat
yang terpilih juga tak akan berpengaruh banyak dengan kuliahnya.
Namun jika begitu, dalam situasi politik UTM saat ini, tersebarnya
berita hoax memang sangatlah mungkin terjadi. Entah itu oleh lawan politik,
sekutu bahkan kawan sendiripun rasanya mungkin. Seperti yang kita tahu, apapun
akan dilakukan untuk menang. Berita dan isu-isu hoax adalah salah satu hal
senjata mujarab untuk kepentingan menjatuhkan lawan. Maka dari itu tidak salah
jika pak menteri memperingatkan agar kita bisa membedakan berita hoax dan mana
yang tidak. “kalian sudah mahasiswa harus bisa membedakan mana berita hoax mana
yang tidak” ucapnya. Akan tetapi publik UTM masih bingung, mana sebenarnya
berita hoax yang dimaksudnya itu?
Setidaknya ini menjadi pengingat bagi publik UTM agar lebih cermat dan
teliti dalam melihat, mendengar dan menangkap sebuah informasi disaat pesta
demokrasi seperti ini. Karena semua bentuk informasi dari gambar, pamflet,
banner dan ucapan para calon presiden mahasiswa (presma) dan wakil presiden mahasiswa
(wapresma) bisa jadi hanya hoax. Semua calon sudah menyiapkan visi dan misi,
akan tetapi semua pasti tahu bahwa visi dan misi yang diusung oleh
masing-masing calon adalah sebuah informasi dan cita-cita. Tetapi, akan menjadi
hoax jika tidak terlaksana. Mungkin ini yang dimaksud pak menteri, kita harus
lebih tahu dan cermat memilih pemimpin lewat sumber informasi yang ada. Dengan
tidak memilih calon presma dan wapresma yang melebih-lebihkan suatu hal.
Seperti visi dan misi yang tidak mungkin tercapai, janji-janji pemanis yang tak
masuk akal, atau mungkin bentuk sosialisasi pengenalan (pamflet, banner,
grafis) yang berlebihan. karena kita paham sendiri berlebihan itu tidak baik.
banner yang besar dimasing-masing sudut UTM misalnya.
Namun jangan salah dalam lanjutan video tersebut pak menteri
manganjurkan kita untuk berkhidbah, menjelaskan definisinya serta memberikan
gestur angka dua. Apa coba maksudnya? Bukankah berkhidbah itu jargon dari salah
satu calon. Apakah ini bentuk dari ajakan untuk memilih salah satu calon
tersebut? Publik pun rasanya sudah mengerti apa yang dimaksud oleh pak menteri.
Dan rasanya tak baik jika salah satu jajaran tinggi di kampus memilih untuk
condong ke salah satu calon presma dan wapresma, condong sih boleh tapi ya
jangan blak-blakan juga pak.
Dari sini kita harusnya
bisa bersikap, mana yang layak jadi pilihan kita kelak. Semua calon sama saja,
semua visi dan misi sama saja, semua janji-janji rasanya intinya juga seru pa.
Toh semua visi, misi dan janji terdengar sama seperti capres dan cawapres
sebelum mereka. Ingin merekatkan semua organisasi intra di kampus, yang ingin
mementingkan hak para mahasiswa, dan lebih berkontribusi bagi UTM dan
masyarakat. Presma dan wapresma dari dulu visi dan misinya juga begitu, tapi
apa yang kalian rasakan, apakah ada yang tercapai?
0 komentar: