Terbungkam disudut kamar, tersungkur di sebuah keadaan yang begitu keparat dirasakan. Dia terlena dengan suasana yang disuguhkan. Bah...

SILAM



Terbungkam disudut kamar, tersungkur di sebuah keadaan yang begitu keparat dirasakan. Dia terlena dengan suasana yang disuguhkan. Bahkan semesta nampak jumawa dengan prilaku yang masih dibatas wajarnya. Padahal malam masih riang namun di tengah lelap suatu hal tak mengenakan datang tanpa meminta permisi. Sebuah ajakan untuk merasakan ironi hidup di tengah-tengah pulau asin. Hati terasa gentar merasakan diri, perasaan tak begitu kokoh mendongak kelangit. Bersujud rasanya sulit dilakukan bahkan menatap dan berkaca pada diri sendiri seakan enggan . Pernah suatu hari saya terpaksa mendengar keluhan dari teman  tetangga kamar.

“ Kenapa hidup disini sangat mengesalkan, masalah silir berganti datang. Seakan semua pedatang yang ada disini dikutuk untuk menjadi sengsara.” Ujarnnya dengan gerutu.

“apa maksutmu? Aku tidak begitu mengerti?” Tanyaku beralasan.

“Aku baru saja setengah tahun mencari ilmu disini. Tapi lihat apa yang dilakukan takdir denganku, UKT yang mahal, ruang kelas yang tak layaknya seperti kandang, fasilitas dan infrastruktur yang tak pernah terealisasi. Itu baru ditempatku menimba ilmu belum dengan kehidupan sewa tinggalku, kamar sempit dengan udara panas di siang dan malamnya, aku heran bagaimana suhu bisa sama panasnya di terang dan gelap. Aku menjadi ikan panggang di siang namun dimalam aku berubah menjadi roti bakar. Ada lagi jika aku mencoba membersihkan diri untuk bertemu pangeranku, ketika air ku kumurkan ke mulutku rasa garam terasa. Aku mencoba menahanya, tetapi pada kesempatan ketiga aku selalu menahan muntah untuk berjubal keluar dari kerongkongan. Aku sering kali bertanya padaNYA setiap akhir sujudku, apakah hidup sesengsara ini disini. Bagaimana dengan nasib motorku yang hilang, aku sampai sekarang masih curiga pak kos tua itu bersengkongkol dengan malingnya. Kau masih inggatkan ketika dia ditanya akan tanggung jawabnya menjaga keamanan saat setelah kejadian itu, dia tidak mau tanggung jawab, dia tidak mau tahu, seakan motor hilang sudah ikhlas saja, jika begitu kenapa dia harus tidur di ruang tamu depan? katanya sih untuk menjaga montor yang tidak kebagian tempat di garasi samping, tapi toh jika dia berjaga motor tetap saja hilang, bahkan jika dia disitu yang dilakukannya hanya tidur lelap, seperti orang mati. Belum lagi sekarang kemalangan kembali menimpaku dompet, uang, stnk, sim dan semua kartu  identitas hilang tak tau kemana. SIALl!!” Gerutu panjangnya padaku.

Aku begitu ingat kemalangan silih berganti menemaninya, seakan kesialan adalah teman yang paling dekat daripada teman-teman kuliahnya. Entah kenapa semuanya sangatlah cepat terjadi. Aku juga akan mengerutu seperti itu jika kesialan yang sama menimpaku. Sebenarnya hidup disini nyaman-nyaman saja. Jika saja bajingan seperti begal tidak ada, keparat seperti maling montor juga lenyap dan juga anjing seperti preman-preman itu juga sirna. Kami disini mau mencari ilmu dengan tenang-tenang saja, dengan nyaman tanpa dibuat takut dengan semua kriminalitas yang ada. Lihat saja berita tentang kriminalitas masih saja menjadi ramaian pesan BC di setiap media sosial.

Masih saja dipojokan kamar itu, kepulan asap masih saja memenuhi polusi. Bau keringat dan tembakau bakar menyengat menyerang setiap sudut ruangan, keroncongan terasa biasa saja namun kepala meminta semua masalah hilang dari dalam otaknya. Diam masih dilakukan tapi batin goyah menahan derita yang ada. Masih saja berharap ada kuping yang rela mendengar semua keluh kesahnya. Namun tak seorangpun manusia mengerti bagaimana orang yang selalu tertawa itu mempunyai luka menganga yang teriak-teriak parau meminta disembuhkan. Ah aku rasa dia cukup pandai memakai topeng kebahagiannya dan bukan tidak mau peduli tapi setiap detiknya semua tetangganya tau dia minta ditolong.

Melamun tetap saja menjadi pelampiasan. Dada terasa senggal meminta asap rokok untuk keluar, matanya merah menahan kantuk dan amarah, kantung matanya bergelayutan sebesar kantung mata pak SBY, aku masih ingat ketika dia masih bisa tertawa kemarin, saat semuanya begitu berwarna ditengah kebahagianya namun ironi dengan tega merenggut semua yang ada pada dirinya. Seakan semua canda tawa kemarin seperti pesugihan dengan tumbal kemalangan yang dia rasakan sekarang.


Mencoba mencerna semua kata-kata yang beredar liar di udara, mendengar suara manusia yang bertebaran merusak rona hari yang ada. Semua ucapan maaf terasa percuma jika diminta. Akankah keresahan menjadi titik buta orang terhadap masalah sosial yang nyata. Melunakan lidah, melancangkan perbuatan dan mencari pelampiasan meledak-ledak. Aku butuh dia, orang yang mengerti semua masalah, orang yang rela mendengar keluh-kesah, orang yang yang selalu ada jika diminta. Tak usah berlaga kuat dihadapanku, tak usah sok tegar didepan mataku, tak usah kau berpura-pura tersenyum dimukaku. Silahkan kau berpura-pura tersenyum jika didepan teman-temanmu, pada semua teman chatmu atau pada semua yang ada disekelilingmu. Namun jika denganku kau berhak menangis seperti anak kecil didepanku, kau bisa bercerita semua masalah denganku, aku bisa menjadi pendengar yang setia dan baik seperti inginmu. Jika seumpama kau berkenan maka dengan semua itu aku rela akan.

0 komentar: