Badanmu yang rapuh kau paksakan tegar didepanku, di sikumu kau tompang kayu sebagai penyeimbang tegak berdirimu. Cafe yang tak begitu r...

TOLONG CERITALAH


Badanmu yang rapuh kau paksakan tegar didepanku, di sikumu kau tompang kayu sebagai penyeimbang tegak berdirimu. Cafe yang tak begitu ramai dan malam yang panjang menjadi media bagimu bercerita kepadaku. Lampu pijar diatas meja menyala muram seperti tatapan ekspresimu yang duka entah karena apa. kamu masih saja malu setiap akan membuka percakapan tapi ditenggorokanmu nyatanya ingin saja mengeluarkan kata-kata, namun mulut kau tutup rapat sehingga kata-kata tertahan dan kegelisahanmu belum tersampaikan.

Matamu yang sayu, kau paksakan terbuka di hadapan kata, malam ini matamu menjelma sebagai kutukan, berburu arti yang terbang bebas di udara, aku sedikit gusar melihat tatapan itu, air mata dan peluh terlihat sama. Suka duka tak ada beda. Inisiatif membuka percakapan aku lakuakan, dan nyatanya kau respon obrolanku dengan riang.  Akhirnya kau bercerita panjang dan lebar, tanpa peduli titik dan koma. Kata-kata mengalir bagai sungai mencari muara. hanya cerita sepi menjadi puisi. Dan lemon tea yang kau pesan akhirnya menjadi berguna sebagai pelapas dahaga cerita panjangmu.

***

Entah aku juga bingung kepada mereka yang kuat menahan cerita ketika masalah melanda. Bagaimana mereka tampak bisa biasa saja, bagaimana juga cara mereka menyembunyikan masalah mereka, apakah mereka diam-diam memiliki kantong yang dikhususkan menyembunyikan masalah lantas mereka masukan semua masalah mereka kedalam kantong itu lalu disembunyikan dibalik saku celana. Atau mereka mempunyai otak ganda yang mereka sembunyikan di dalam kulkas, otak satu dipakai sebagai penampung masalah dan kesedihan. Sedangkan otak yang lain khusus sebagai tempat kebahagiaan yang dipakai sebagai alibi mereka jika keluar dari rumah, sehingga leluasa memasang wajah tawa lepas dari segala masalah. Padahal jika pulang kembali kerumah mereka akan kembali menangis dan meratapi diri dan berasumsi mengapa hidup bisa semenderita begini.

Padahal hanya butuh cerita, sungguh tinggal membuka mulut dan berkata. Tapi nyatanya ego dan gengsi menjadi satu-satunya alasan mengapa cerita mengumpal dan beranak pinak disela-sela otak dan perasaan. Sehingga tidak sedikit juga orang mati bunuh diri karena tidak mampu bercerita dan mengungkapkan perasaan didalam isi kepala

Namun ternyata, bercerita tidak sesederhana itu.

Bercerita bahkan lebih rumit dari rumus-rumus kalkulus, di soal-soal ulangan harian yang mendadak dirajai oleh beberapa kepala yang cemas. Pun lebih rumit rumit dari proses metamorfosis seekor ulat sebelum menejadi kupu-kupu, yang kemudian hanya diberi waktu tak lebih dari seminggu untuk dipuji kecantikannya.

Sejatinya akhirnya semua orang ingin bercerita, cerita sudah menjadi bahan pokok selain nasi dan kouta internet. Bagaimana jika orang disekitarmu itu butuh cerita, dan kau sebenarnya tahu jika dia ingin bercerita. Namun kamu malah diam saja, padahal mengajaknya berbicara sama saja akan meringankan hidupnya. Dia hanya butuh pendengar, bukan penolong. Walaupun dengan mendengarnya secara tidak langsung kamu juga menolongnya. Tapi jika dia butuh bantuan atas masalahnya, menolongpun juga kenapa tidak? Ah meracau seperti ini memang kadang tidak guna.

***

Akhirnya kamu menutup ceritamu, raut mimik muka lega kau pasang pengganti wajah layumu. Ceritamu usai, bebanmu telah ringan sekarang, dan senyum simpul terpampang ketika aku mencoba merayumu. Mudah-mudahan kamu tetap ceria seperti itu. Sehingga nanti giliranku cerita tentang bagaimana masalahku, masalah yang kau ciptakan setelah senyummu itu memporak-porandakan isi hatiku.

0 komentar: