18 Desember 2016 Waktu menunjukan sudah dini hari. Namun dari ufuk timur gejolak sinar mentari belum terlihat muncul. Bahkan hawa d...

SUATU HARI DI TAHUN 1965

18 Desember 2016


Waktu menunjukan sudah dini hari. Namun dari ufuk timur gejolak sinar mentari belum terlihat muncul. Bahkan hawa dingin masih terasa menyerang ke sekujur tubuh. Aku sedang tertidur lelap disebuah losmen di pinggiran kota Jakarta. Bagiku daerah ini sudah cukup jauh untuk aku sembunyi, uang pelarianku hanya tersisa buat menyewa losmen 2 hari dan makan 1 hari saja. Tempat tinggalku dulu ada di daerah pulo gadung dan Pekerjaanku dulu serabutan, pagi menjadi kuli panggul di pasar senen, siang menjadi tukang becak di daerah Slipi dan kalau malam menjadi tukang parkir di Monas. Lihatlah aku kerja banting tulang setiap harinya namun belum kaya kaya pula aku, kerja kerasku ini aku lakukan untuk menghidupi diriku sendiri. Wajarlah aku belum beranak maupun beristri, jadi uang cukup aku tabung untuk kebutuhan sehari hari ataupun keadaan mendesak disuatu hari. Entah mengapa hidupku semengenaskan begini, seorang sarjana S1 Ekonomi yang setidaknya dengan membawa nama besar kampusku atau memamerkan jas warna kuningku saja ke HRD bisa bekerja di perusahaan ternama atau instansi permerintahan ataupun setidak tidaknya pegawai bank. Namun nasib berbicara lain kini aku malah terdampar jauh menjadi pemanggul barang belanjaan orang - orang yang ilmunya jauh dibawahku, sialan.

Aku merasa tidak adil disini aku seorang yang berpendidikan, nilai nilaiku nyaris sempurna di semua mata kuliah bahkan aku lulus tepat waktu. namun mengapa hidupku semengenaskan begini. Bagai mana apakah ini adil? Bandingkan dengan hidup para penjabat saat ini. Ditahun akhir rezim orde lama ini aku berasa diperlakukan tidak adil. Akhir masa orde lama adalah masa dimana kebijakan-kebijakan politik Presiden saat itu begitu banyak dipengaruhi oleh orang-orang disekitarnya yang pandai menjilat serta membawa kepentingan pribadi dan partai. Sehingga di masa-masa akhir pemerintahan Presiden pada saat itu, ada begitu banyak penyimpangan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari mulai pembentukan demokrasi terpimpin yang semakin mengarah pada otoriterianisme, praktik kolusi dan nepotisme (siapa yang punya koneksi akan diuntungkan), sampai penyalahgunaan kekuasaan dimana uang dana revolusi yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan karcis-karcis bioskop, dihambur-hamburkan oleh orang-orang pemerintah pusat di luar negeri.

Lihatlah masyarakat indonesia saat zaman pergolakan ini banyak yang miskin, banyak yang kelaparan, banyak sarjana yang menjadi pengangguran dan banyaknya masyarakat yang takut ditangkap atau takut dibunuh karena dicurigai menjadi pengikut partai komunis. bayangkan keadaan rakyatnya sedang sengsara dan diselimuti ketakutan malah para pemerintah Bangsa sedang enak enaknya tertawa dan bahagia diatas penderitaan rakyatnya, apakah memang begitu tugas seorang pemerintah? Suatu hari aku membaca koran dan membaca kolom opini dimana aku melihat banyak opini - opini dari masyarakat tentang kebijakan tidak adil pemerintah dan menurutku kritik mereka tidak begitu mengena. Bahkan terkesan ada hal yang ditutupi dan mereka yang menulis tidak membuka kenyataan sebenarnya pada tulisan mereka. Aku jadi geram sendiri membaca kolom opini ini. Bukan karena tidak adilnya sikap pemerintah tapi karena adanya hal yang ditutupi oleh mereka yang menulis opini ini.

Akhirnya aku menulis opiniku sendiri, gini gini aku dulu sering menulis saat masih jadi mahasiswa. Menjadi salah satu aktivis kampus dan sering menjadi orator demo. Aku ketik dan aku ceritakan keadaan dan realita yang terjadi pada bangsa ini dan esoknya aku kirimkan ke koran. Esoknya aku membeli edisi koran hari ini, aku membolak balikan lembaran mencari kolom opini dan opiniku kemarin tidak termuat disana. Yah namanya juga penulis dadakan mana mungkin tulisannya langsung bisa diapresiasi oleh koran. Aku-pun membolak balik lagi halaman koran ini. Dan aku kaget dengan salah satu kolom yang ternyata didalamnya ada tulisanku. Ternyata tulisanku dibuatkan kolom sendiri oleh pihak koran.

Akupun pulang kerumahku di daerah Pulo gadung. Aku membuka pintu dan ternyata ada surat yang diselipkan dibawah kolong pintu. Aku buka surat itu dan ternyata itu dari pihak koran yang dalam surat itu menginginkan aku untuk menjadi penulis tetap opini di koran tersebut akupun mengiyakan dengan menulis surat balik. Hari demi hari aku lewati, aku tidak lagi bekerja sebagai kuli panggul, tukang becak ataupun tukang parkir. Aku sekarang cukup dirumah dan mengkritik semua kenyataan dan realita tentang bobroknya negeri dan para pemimpin bangsa ini. tak jarang aku juga mendapat surat cacian atau ancaman dari pengirim misterius akan kritikku yang telampau pedas dan kritis. Pernah juga aku diancam akan dibunuh oleh seseorang anggota partai pro pemerintah jika terus menerus mengkritik pedas pemerintah. Namun aku tak gentar, aku tak takut. Malah semakin banyak penggemar, pendukung dan simpatisan dari buah aku mengkritik ini . Malah dengan semua ancaman itu aku jadi semakin girang dan kritis mencibir pemerintah.

Di hari yang cerah dan bila di ingat ingat itu pada hari jum’at aku didatangi oleh seorang sahabatku yang mengkabarkan bahwa akhir akhir ini aku dan rumahku ini banyak di awasi oleh orang orang berbadan besar mungkin seperti dengan pembunuh bayaran dari pesuruh yang entah itu siapa? Pasti orang atas. Aku yang mendapat kabar tersebut langsung memutuskan untuk melarikan diri. bukan karena takut tapi aku masih ingin hidup untuk mengkritik.


Akhirnyapun aku sampai disini. Waktu menunjukan sudah dini hari. Namun dari ufuk timur gejolak sinar mentari belum terlihat muncul. Bahkan hawa dingin masih terasa menyerang ke sekujur tubuh. Aku sedang tertidur lelap disebuah losmen di pinggiran kota Jakarta. Bagiku daerah ini sudah cukup jauh untuk aku sembunyi, uang pelarianku hanya tersisa buat menyewa losmen 2 hari dan makan 1 hari saja. Aku masih terlampau lelap dalam mimpiku. Daerah melarikan diriku ini menurutku sudah cukup aman untuk sekedar menghindari pembunuh bayaran itu, daerah padat penduduk ditambah dengan letaknya dipinggiran kota sudah cocok untuk tempat kamuflase yang sempurna. Kira kira sekitar jam 3 pagi pintu losmenku didobrak oleh orang. Akupun langsut terperanjat dari tidurku, lalu beberapa orang ikut masuk kira kira kalau aku tak salah hitung ada sekitar 4 orang dengan badan gempal. Aku langsung memposisikan kuda kuda bersiap untuk berkelahi. Serangan demi serangan masuk telak mengenai wajah dan perut beberapa orang. Namun tiba tiba satu benda keras menghujam bagian belakang kepalaku. Akupun langsung tersungkur jatuh. Mataku masih bisa melihat remang namun setelah itu kepalaku ditutupi kain hitam dan gelap-pun aku rasakan dan diriku seakan sedang dipapah. Entah mau dibawa kemana diri ini? Semoga nantinya Tuhan tidak membawaku ke neraka.

0 komentar: