"Dan untuk kita saudara saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyan kita tetap: merdeka atau mati" - Bung Tomo
Menenteng senjata di
pagi hari setelah lengkingan adzan subuh menggema, suara takbir terdengar
dimana mana, mengoyak badan yang akan berlari entah dimana, seakan terbakar
sanubari mendengarnya, teriakan dan sumpah serapah bertarung sengit dengan
suara peluru dari penjuru arah. pasrah?, tidak, kita tidak pasrah, kalaupun
pasrah kita tidak akan mati matian disini, ini tanah air kita, bukan milik mereka si
kulit pucat, mereka datang sebagai pengecut yang kembali dengan samaran bendera
inggris walaupun saat bersamaan negara itu juga musuh kita, mereka juga bukan
sebagai sekutu penolong kemerdekaan, mereka musuh baru untuk kita.
Jendral mereka mati, jendral yang mereka agung agungkan mati
di kota ini, padahal selama lima tahun perang dunnia ke-dua tidak satupun
jendral mereka bisa dibunuh, namun baru lima hari mereka di kota ini nyawa
jendral mereka berhasil direnggut, jasadnya gosong tak terindentifikasi didalam
mobil yang terbakar karena ledakan granat yang entah itu granat punya siapa,
anak buahnya atau pemuda?, ah entahlah.
Ajakan gencatan senjata mereka tidak bisa diterima,
menyerahkan senjata kepada mereka bukanlah pilihan yang bagus, ingatlah mereka
semua licik, menyerahkan senjata sama saja seperti menyerahkan nyawa kita,
nanti kita lawan mereka dengan apa?, iya kita masih punya bambu, arit dan
clurit namun apakah mempan dengan meriam kapal, pesawat bombardir maupun tank milik
mereka, mereka sudah mempersenjatai diri lengkap sedangkan kita hanya punya
dari rampasan milik jepang yang kita tawan, hari ini harga diri dipertaruhkan,
sebuah kemerdekaan ditanyakan, namun dikota ini semua serentak memimilih
membangkang.
Pagi setelah pidato sang orator bung Tomo terdengar oleh
warga kota dan sebagian daerah disekitarnya, membakar semangat dengan kata dan
ucapan saktinya, Surabaya panas, Surabaya membara, Inggris siap dengan semua
senjata dan alat perang dan kita juga siap dengan semangat dan rasa cinta pada
tanah air negeri ini. Kami berangkat ke medan perang dengan keyakinan bahwa
dengan ini kami berjuang, kami yakin dengan teriakan peluru tajam milik mereka
akan mental, dengan kegigihan senjata mereka akan salah bidik dan dengan
semangat rasa cinta tanah air kami siap berjuang dan mati disini. kami semua
rela nyawa melayang demi mempertahankan negeri tercinta, walaupun nyawa kami
bayarannya kami rela.
Suara peluru terdengar disemua daerah, Wonokomo,Darmo,
tanjung perak, jembatan merah dan semua daerah di Surabaya, tembakan demi
tembakan bersautan tak kalah dengan teriakan takbir dan ucapan serapah, kota
ini di bombardir dari darat, laut dan udara namun kami tidak akan kalah, kami
tidak akan gentar biarkan mereka menyerang kami juga akan melawan.
Mereka mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sang
pemenang perang dunia ke-dua berlutut pada pemuda Surabaya, mereka menyerah dan
minta jalan tengah dengan berunding dengan kita. Korban banyak berjatuhan, di
jalanan, di selokan, di rumah sakit, di depan pintu , di jembatan bahkan di dalam
airpun ada, lebih dari 10.000 orang kita gugur dan hilang ,selain pejuang ada perempuan,
anak anak maupun pasien rumah sakit yang sebenarnya tidak boleh dibunuh dalam
perang. Namun di pihak lawan korban tewas juga tak kalah mengerikan bahkan
terhitung juga ada belasan ribu campuran dari pasukan inggris dan belanda, dan
akhirnya di Surabaya mereka mengalami kekalahan yang sesungguhnya dan kitalah
penyebabnya.
TERIMA KASIH: PAHLAWAN
0 komentar: