“Aku dan kamu bertemu kebetulan, kebersamaan kita juga kau anggap kebetulan, canda tawa kita kemarin juga kausebut dengan kebetulan, namun kenapa perpisahan kita sekarang kau sebut dengan takdir Tuhan”
Siapa yang percaya kebetulan?, sebuah keadaan yang sebenarnya sudah ditakdirlan jauh hari oleh Tuhan. Yang dengan seenaknya kita sebut takdirNYA dengan seonggok kata berhuruf kebetulan. Bahkan sehelai daun pun yang jatuh ke tanah bukan merupakan sebuah kebetulan tapi sudah ditakdirkan, Tuhan telah mengatur dan mengetahuinya. Apalagi yang lebih besar dan kompleks dari itu, hidup kita.
Bahkan
pertemuan kita. hingga pertemuan pertemuan sengaja maupun tidak sengaja kita
yang kemarin hingga saat ini, apakah itu juga suatu kebetulan?. Ah iya pasti
kamu menganggapnya begitu. Seperti di gedung berlantai 4 yang kita kunjungi
setiap senin sampai jumat ini. gedung ini sebanarnya memiliki 4 akses tangga
untuk menuju setiap lantainya namun dengan kebetulanya (katamu) kita selalu bertemu di tangga yang sama, dijam yang sama dan
secara kebetulanya itu terjadi hampir sesering dari kebetulan yang ada. aku
sedang naik kelantai 3, kamu sedang turun ke lantai 2, bahkan tak jarang kita
secara kebetulan menaiki tangga dengan diawali pertemuan kita didasarnya.
Kita selalu
menyapa satu sama lain, tersenyum satu sama lain, kita ngobrol dengan menapaki satu
persatu anak tangga tentang bagaimana kesibukan kita dihari ini atau kemarin
lusa. Tak jarang kau tersenyum setiap aku lontarkan kata kata bercanda, Senyuman
manis yang sudah aku anggap sebagai energi pengganti serapan pagiku setiap
harinya.
Namun dua
hari ini aku tak menemukan dirinya, senyum yang kurindukan disetiap paginya
tidak mengasupiku didua hari ini. apakah ini sebuah kebetulan atau memang
kebetulan Tuhan sudah tak lagi memihak untuk aku bertemu dengannya. Di esoknya
aku datang lebih awal, aku tahu dia ada kelas jam sembilan pagiini sedangkan
kelasku ada di jam setengah sepuluh pagi. Aku menunggunya sejak jam 8 tadi, teh
kotak yang aku pegangi sedari tadi sudah
tak lagi berisi.
satu jam lebih aku duduk di anak tangga ini
menungguinya yang secara kebetulan tak lagi keteemui dua hari ini. Kulihat jam
tanganku, aku tercengang dengan angka setengah sepuluh yang ditampilkannya, aku
memasang muka sendu, aku kembali bersabar dengan menungguinya dengan
menambahkan waktu tiga puluh menit untuk masuk ke kelasku, namun senyum
manisnya masih juga belum datang, apakah dia kembali tak kutemui hari ini?,
apakah kebetulan kita sudah habis untuk diulang lagi dan waktu tiga puluh
menitpun memaksa aku menyerah untuk menunggu sebuah kebetulan untuk hari ini. Aku
pergi dari tempat tungguku dan hanya bisa mengumpat dalam hati.
0 komentar: